TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 1/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
PETUNJUK TEKNIS BUDIDAYA IKAN LAUT
DI JARING APUNG
1. PENDAHULUAN
Budidaya ikan laut di jaring apung (floating cages) di Indonesia trgolong masih
baru. Perkembangan budidaya secara nyata baru terlihat pada sekitar tahun
1989 yang ditandai dengan keberhasilan UPT Perikanan melaksanakan
pemijahan / pembenihan sekaligus pembesaran ikan Kakap Putih (Lates
calcarifer, Bloch) di daerah Lampung untuk tujuan komersial.
Upaya pengembangan budidaa ikan laut, terutama dalam rangka menunjang
pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan perikanan Pelita VI nampak
cukup cerah karena disamping didukung oleh potensi sumberdaya yang cukup
besar tersebar di beberapa Propinsi seperti; Riau, Sumatera Selatan, Lampung,
Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan
Maluku, juga didukung oleh semakin berkembangnya pemasaran ikan laut ke
luar negeri (ekspor) maupun lokal. Berkaitan dengan upaya pengembangan
budidaya laut melalui pembuatan buku Petunjuk Teknis Budidaya ikan laut
merupakan sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan petani nelayan.
2. PERSYARATAN LOKASI
Ketepatan pemilihan lokasi adalah salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan usaha budidaya ikan laut. Karena laut yang dimanfaatkan sebagai
lahan budidaya merupakan wilayah yang penggunaannya melibatkan sektor
lain (Common property) seperti; perhubungan, pariwisata, dan lain-lain, maka
perhatian terhadap persyaratan lokasi tidak hanya terbatas pada faktor-faktor
yang berkaitan dengan kelayakan teknis budidaya melainkan juga faktor
kebijaksanaan pemanfaatannya dalam kaitan dengan kepentingan lintas sektor.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, Departemen Pertanian telah mengeluarkan
Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut (SK. Mentan No.
473/Kpts./Um/7/1982).
Agar pemilihan lokasi dapat memenuhi persyarataan teknis sekaligus terhindar
dari kemingkinan pengaruh penurunan daya dukung lingkungan akibat
pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh kegiatan lain, maka lokasi yang dipilih
adalah yang memenuhi kriteria, sebagai berikut:
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 2/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Tabel 1. Syarat-Syarat Lokasi Budidaya
NO. FAKTOR PERSYARATAN MENURUT KOMODITAS
Kerapu Kakap Putih Kakap Merah
1. Pengaruh angin dan
gelombang yang kuat
Kecil Kecil Kecil
2. Kedalaman air dari
dasar kurung
5-7 m pada surut
terendah
5-7 m pada
surut terendah
7-10 m pada
surut terendah
3. Pergerakan air/arus 20-40 cm/detik ±20-40 cm/det. ±20-40 cm/detik
4. Kadar garam 27-32 %0 27-32 %0 32-33 %0
5. Suhu Air Pengaruh 280C-300C 280C-300C 280C-300C
6. Polusi bebas bebas bebas
7. Pelayaran tdk menghambat
alur pelayaran
tdk menghambat
alur pelayaran
tdk menghambat
alur pelayaran
3. JENIS IKAN
Jenis-jenis ikan laut yang dapat dibudidayakan dipilih berdasarkan potensi
sumber daya yang ada jenis ikan yang sudah umum dibudidayakan serta
teknologinya yang sudah dikuasai/dihasilkan sendiri di Indonesia, guna untuk
menghindari resiko kegagalan yang besar.
Jenis-jenis ikan yang dimaksud adalah Kerapu Lumpur (Epinephalus tauvina),
Kakap Putih (Lates calcalifer, Bloch), Kakap Merah (Lutjanus malabaricus,
Bloch & Schaider).
Berikut di bawah ini disajikan biologi beberapa jenis ikan yang dapat
dibudidayakan secara praktis.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 3/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Tabel 2: Biologi Jenis-Jenis Ikan yang Dibudidayakan
NO. URAIAN Kerapu Kakap Putih Kakap Merah
1. Nama Lokal
Nama Asing
Kerapu Lumpur
Greasy grouper
Kakap Putih
Seabass
Ikan Merah
Red-Snapper
2. Silsilah:
Philum
Sub Philum
Klas
Sub Klas
Ordo
Famili
Genus
Species
Chrodata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Percomorphi
Sarranidae
Epinephelus
E. tauvina
Chrodata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Percomorphi
Centropornidae
Lates
L. carcarifer Bloch
Chrodata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Percomorphi
Lutjanidae
Lutjanus
L. malabaricus
Bloch & Scheider
3. Ciri-ciri
Morphologi
Badan memanjang
gepeng. Termasuk jenis
Kerapu besar.
Prapenutup insang
bulat, bergerigi dan
agak basar pada ujung
bawah
Gigi-gigi pada rahang
berderet dalam 2 baris.
Jari-jari Sirip keras, sirip
dubur 3 dan 8 lemah
Sirip Punggung berjari
keras 11 dan 15-16
lemah
Terdapat 3 duri pada
penutup insang yang
ditengah terbesar
Termasuk ikan buas dan
predator
Hidup perairan pantai ,
lepas pantai, menyendiri
Soliter
Dapat mencapai
panjang 150 cm
umumnya 50-70 cm
Warna dasar sawo
matang, agak keputihan
bagian bawahnya.
Terdapat 4-6 ban warna
gelap melintang badan.
Totol-totol warna merah
sawo di seluruh badan .
Badan memanjang
gepeng, batang sirip
ekor lebar
Burayak umur 3-5
bulan warnanya gelap.
Glondongan warnanya
terang dg punggung
coklat kebiruan dan
berubah keabu-abuan.
Sirip abu-abu gelap
Mata merah
cemerlang, mulut lebar
dengan gerigi halus
Bag. Atas penutup
insang terdapat
lubang kuping
bergerigig
Sirip punggung berjari
keras sebanyak 7-9
dan jari lemah 10-11
Sirip dubur berjari
lemah 7-8
Sirip dubur berbentuk
bulat
Badan memanjang
melebar, gepeng
kepala cembung
Bag. Bawah penutup
insang bergerigi
Gigi-gigi pada
rahang tersusun
dalam ban-ban, ada
gigi taring pd bag.
Terluar rahang atas
Sirip punggung
berjari-jari keras 11
dan lemah 14 Sirip
dubur berjari-jari
keras 3, lemah 8-9
Termasuk ikan buas,
makannya ikan kecil
dan invetebrata
dasar. Hidup
menyendiri di daerah
pantai sampai
kedalaman 60 m.
Dapat mencapai
panjang 45-60 cm.
Warna bag. Atas
kemerahan/merah
kuningan Bag.
Bawah merah
keputihan. Ban-ban
kuning kecil diselingi
warna merah pd bag.
Punggung diatas
garis rusuk.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 4/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Gambar 1. Ikan Kerapu Lumpur (Epinephalus tauvina)
Gambar 2. Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch)
Gambar 3. Ikan Tambangan (Lutjanus johni)
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 5/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
4. PERSIAPAN SARANA BUDIDAYA
1) Kerangka/rakit
Kerangka berfungsi sebagai tempat peletakan kurungan, dapat terbuat dari
bahab bambu, kayu, besi bercat anti karat atau paralon. Bahan yang
dianjurkan adalah bahan yang relatif murah dan mudah didapati di lokasi
budidaya.
Bentuk dan ukuran rakit bervariasi tergantung dari ukuran yang digunakan.
Setiap unit kerangka biasanya terdiri atas 4 (empat) buah kurungan.
Gambar 4. Disain Konstruksi Kurungan Apung
2) Pelampung
Pelampung berfungsi untuk melampungkan seluruh saran budidaya
termasuk rumah jaga dan benda atau barang lain yang diperlukan untuk
kepentingan pengelolaan.
Bahan pelampung dapat berupa drum plastik/besi atau styrofoam
(pelampung strofoam). Ukuran dan jumlah pelampung yang digunakan
disesuaikan dengan besarnya beban. Sebagai contoh untuk menahan satu
unit kerangka yang terdiri dari empat buah kurungan yang masing-masing
berukuran (3x3x3) m3 diperlukan pelampung drum plastik/drum besi volume
200 liter sebanyak 9 buah, atau 11 buah dengan perhitungan 2 buah, untuk
menahan beban lain (10/4x9) buah ditambah 2 buah untuk menahan beban
tambahan. Pelampung diikat dengan tali polyethyline (PE) yang bergaris
tengah 0,8-1,0 cm. Penempatan pelampung pada kerangka dapat dilihat
pada gambar 5.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 6/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Gambar 5. Penempatan dan Pemasangan Pelampung pada Kerangka/Rakit
3) Kurungan
Kurungan atau wadah untuk memelihara ikan, disarankan terbuat dari bahan
polyethline (PE) karena bahan ini disamping tahan terhadap pengaruh
lingkungan juga harganya relatif murah jika dibandingkan dengan bahanbahan
lainnya. Bentuk kurungan bujur sangkar dengan ukuran (3x3x3)m3.
Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang dibudidayakan.
Untuk ukuran ikan dengan panjang kurang dari 10 cm lebar mata yang
digunakan adalah 8 mm (5/16 inchi). Jika panjang ikan berkisar antara 10-15
cm lebar mata jaring digunakan adalah 25 mm (1 inch), sedangkan untuk
ikan dengan ukuran panjang 15-40 cm atau lebih digunakan lebar mata
jaring ukuran 25-50 mm (1-2 inch).
Pemasangan kurungan pada kerangka dilakukan dengan cara mengikat
ujung tali ris atas pada sudut rakit. Agar kurungan membentuk kubus/kotak
digunakan pemberat yang diikatkan pada keempat sudut tali ris bawah.
Selanjutnya pemberat diikatkan ke kerangka untuk mempermudah pekerjaan
pengangkatan/penggantian kurungan (lihat gambar 4) untuk mencegah
kemungkinan lolosnya ikan atau mencegah serangan hewan pemangsa,
pada bagian atas kurungan sebaiknya diberi tutup dari bahan jaring.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 7/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Gambar 6. Penempatan dan Pemasangan Kurungan
4) Jangkar
Agar seluruh saran budidaya tidak bergeser dari tempatnya akibat pengaruh
arus angin maupun gelombang, digunakan jangkar. Jangkar dapat terbuat
dari beton atau besi.
Setiap unit kurungan jaring apung menggunakan 4 buah jangkar dengan
berat antara 25-50 kg. Panjang tali jangkar biasanya 1,5 kali kedalaman
perairan pada waktu pasang tinggi
Gambar 7. Pengaturan dan Pemasangan Jangkar
5. RANCANGAN TATA LETAK KERANGKA JARING APUNG
Pengaturan penempatan kerangka jaring apung harus mengacu kepada
peraturan yang telah dikeluarkan, dalam hal ini Kepres No. 23 Tahun 1982
tentang Pengembangan Budidaya laut di Perairan Indonesia serta Petunjuk
Pelaksanaannya yang telah dikeluarkan Departemen Pertanian melalui SK.
Mentan No. 473/Kpts/7/UM/7/1982.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 8/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan tersebut, pihak yang berwenang
melaksanakan pengatuaran penempatan kurungan jaring apung adalah
Pemerintah Daerah setempat, dalam hal ini yang bertindak senagai Instansi
Teknis adalah Dinas Perikanan setempat.
Penempatan kerangka jaring apung diperairan disarankan tidak lebih dari 10
(sepuluh) buah dalam satu rangkaian. Hal ini ditujukan untuk mencegah
terjadinya penumpukan/pengendapan sisa makanan atau kotoran ikan serta
limbah lainnya akibat terhambatnya arus, juga untuk memudahkan pengelolaan
sarana dan ikan peliharaan. Disamping itu, sedapat mungkin penempatan
kerangka mengacu kepada Rancangan Tata Ruang Satuan Pemukiman
(RTSP) untuk memperoleh rancangan menyeluruh yang efisien, memiliki
aksessibilitas yang tinggi serta aman bagi pelaksanaan kegiatan budidaya.
Gambar 8. Rancangan Tata Letak Kerangka Kurungan Jaring Apung
6. PENGELOLAAN KELOMPOK USAHA BERSAMA
1) Pengaturan Pola Tanam
Usaha budidaya laut dengan skala besar selalu dihadapkan dengan kendala
baik pada saat memuai kegiatan dan pengelolaan maupun pemanenan dan
pemasaran hasil. Bentuk kendala dan permasalahan yang ditemui antara lain
berupa sulitnya memenuhi kebutuhan dan penampungan benih, saprodi dan
tenaga kerja serta pelemparan hasil ke pasar. Untuk itu dalam pelaksanaan
kegiatan budidaya skala besar perlu diterapkan pola tanam tertentu.
Alternatif pola tanam yang akan diterapkan oleh setiap KK adalah melakukan
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 9/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
penanaman pada 1 unit kurungan jaring apung yang terdiri dari 4 buah
kurungan pada setiap minggu.
2) Pemasaran Hasil
Pemasaran hasil dari usaha budidaya yang dilakukan petani/nelayan
merupakan tanggung jawab Perusahaan Inti. Pelaksanaan budidaya
(petani/nelayan) bersama Perusahaan Inti menentukan kesepakatan harga
jual hasil panen baik untuk lokal maupun untuk ekspor.
7. PENGELOLAAN SARANA DAN IKAN PELIHARAAN
1) Pengelolaan Sarana
Sarana budidaya berupa kerangka/rakit, kurungan apung, pelampung dan
lain-lain harus mendapat perawatan secara berkala. Kendala yang biasa
terjadi pada budidaya jaring apung ini adalah pengotoran/penempelan oleh
organisme penempel ini seperti teritip , algae, kerang-kerangan dan lain-lain
dapat terjadi pada semua sarana budidaya yang terendam dalam air.
Penempelan organisme sangat menggangu pertukaran air dan
menyebabkan kurungan bertambah berat. Untuk menanggulangi organisme
penempel ini , dilakukan pembersihan jaring secara periodik paling sedikit 1
bulan sekali atau tergantung pada banyak sedikitnya organisme yang
menempel.
Penempelan oleh algae dapat ditanggulangi dengan memasukkan beberapa
ekor ikan herbivora (Siganus sp.) ke dalam kurungan agar dapat memakan
algae tersebut. Pembersihan kurungan dapat dilakukan dengan cara
menyikat atau menyemprot dengan air bertekanan tinggi.
2) Pengelolaan Ikan
Kegiatan pengelolaan ikan yang dipelihara dikurungan adalah mengontrol
dan mengawasi ikan peliharaan secara berkala, guna untuk menghindari
terjadinya pertumbuhan yang tidak seragam karena adanya persaingan
dalam mendapatkan makanan.
Penggolongan ukuran (grading) harus dilakukan bila dari hasil pengontrolan
itu terlihat ukuran ikan yang tidak seragam. Dalam melakukan pengontrolan,
perlu diperhatikan dan diusahakan jangan sampai terjadi stress (keteganan)
dan kerusakan fisik pada ikan.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 10/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
8. OPERASIONAL BUDIDAYA
1) Benih
Pemenuhan kebutuhan benih apabila belum dapat dipenuhi dari hasil
pembenihan yang ada, bisa dilakukan dengan cara menangkap dari perairan
di sekitar lokasi budidaya dan untuk itu dapat digunakan alat tangkap seperti
bubu, pukat pantai, sudu atau jala.
Benih alam umumnya memiliki ukuran yang tidak seragam oleh karena itu
kegiatan penggolongan ukuran (grading) perlu dilakukan. Selain itu proses
aklimatisasi/penyesuaian iklim sebelum ikan dibudidayakan perlu dilakukan
untuk menghindarkan kematian akibat pengaruh lingkungan/habitat yang
baru.
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 11/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Gambar 9. Macam-Macam Alat Tangkap Benih
2) Pendederan
Yang dimaksud dengan pendederan adalah kegiatan pemeliharaan benih
sampai uuran tertentu hingga siap untuk dipelihara dikurungan pembesaran.
Lamanya pendederan tergantung dari ukuran awal, tingkat kepadatan dari
benih yang dipelihara. Sebagai contoh, untuk benih ikan Kakap putih yang
berukuran kurang dari 10 cm dengan padat penebaran 100-150 cm
diperlukan waktu satu bulan pada kurungan pendederan yang memiliki lebar
mata8 mm (5/16 inch). Selanjutnya dipindahkan ke kurungan pendederan
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 12/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
yang memiliki lebar mata 25 mm (1 Inch) dengan kepadatan 40-60 ek/m2
selama 2-3 bulan.
3) Pembesaran
Benih ikan yang sudah mencapai ukuran 50-75 gram/ekor dengan panjang
15 cm atau lebih dari hasil pendederan, selanjutnya dipelihara dalam
kurungan pembesaran yang memiliki lebar mata jaring 25-50 mm (1-2 inchi)
dengan kepadatan 15-25 ek/m3 dan waktu pemeliharaan dikurungan
pembesaran berkisar antara 6-8 bulan.
4) Pakan
Pakan adalah salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan
moralitas ikan yang dipelihara. Oleh kjarena itu masalah kuantitas dan
kualitas dari pakan yang diberikan layak dipenuhi.
Ikan rucah (Trash fish) adalah jenis pakan yang biasa diberikan untuk jenisjenis
ikan laut buas (carnivora) Dalam hal ini ikan Kerapu dan ikan Kakap
yang dipelihara dikurungan apung.
Jumlah pakan yang diberikan tergantung dari ukuran ikan yang
dibudidayakan. Pada tahap pendederan diberikan pakan sebanyak 8-10%
dari total berat badan/hari, sedangkan pada saat pembesaran diberikan
pakan sebanyak 3-5% dari total berat badan/hari.Rasio konversi pakan
(Food Convertion Ratio) yang akan diperoleh adalah 5:1 yang berarti untuk
mendapatkan penambahan berat 1 kg daging ikan diperlukan pakan
sebanyak 5 kg.
Frekuensi pemberian pakan tergantung pada ukuran ikan. Untuk larva dan
glondongan (juvenil), frekuensi pakan yang diberikan adalah 3-4 kali/hari.
Waktu pemberian pakan adalah pada siang hari.
9. PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Sejalan dengan perkembangan usaha budidaya ikan di laut, muncul pula
beberapa masalah yang dapat menggangu bahkan menghambat
perkembangan usaha tersebut misalnya hama dan penyakit ikan.
1) Hama
Hama yang menyerang pada usaha budidaya ikan laut lebih banyak
disebabkan oleh hewan pemangsa atau pengganggu lainnya. Hama dapat
menyerang apabila kerusakan pada sistem jaring-jaring yang dipergunakan
sebagai kurungan pemeliharaan ilan. Kerusakan tersebut mengakibatkan
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 13/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
masuknya hewan penggangu atau pemangsa lainnya seperi burung dan
lingsang. Walaupun akibat yang ditimbulkan sangat terbatas atau relatif kecil,
namun hal tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja. Termasuk kerugian
akibat adanya pencurian yang dilakukan oleh manusia.
2) Penyakit
Secara umum penyakit dapat diartikan sebagai gangguan dalam fungsi atau
struktur suatu organ atau bagian tubuh. Penyakit timbul dikarenakan satu
atau berbagai sebab baik berasal dari lingkungan maupun dari tubuh ikan itu
sendiri.
Hal-hal yang menyebabkan ikan terserang penyakit adalah:
- Cara perawatan yang kurang baik
- Makanan tidak cukup (giji dan jumlah)
- Kekurangan zat asam
- Perubahan suhu dan sifat-sifat air yang mendadak.
Gejala ikan yang terserang penyakit antara lain: kelainan tingkah laku,
kurang nafsu makan, kelainan bentuk ikan, kelainan pada permukaan tubuh
iakn, Penyakit insang, anus tidak normal, mata tidak normal dll.
Penyakit dapat dibagi menjadi 2 golongan bila dilihat dari penyebabnya.
a. Penyakit non Parasiter: adalah penyakit yang disebabkan oleh faktorfaktor
kimia dan fisika air yang tida cocok bagi ikan seperti: perubahan
salinitas air secara mendadak, polusi dan lain sebagainnya. Selain dari itu
bisa juga disebabkan oleh kekurangan makanan dan gizi yang buruk,
serta stress akibat penanganan yang kurang baik.
b. Penyakit Parasiter: Penyakit yang biasa menyerang ikan budidaya laut
adalah:
- Golongan virus
- Golongan bakteri
- Golongan crustacea
- Golongan cacing
- Golongan Protozoa
- Golongan jamur
Penanganan terhadap ikan sakit dapat dibagi atas 2 langkah yaitu:
a. Berdasarkan teknis budidaya:
Tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain:
- menghentikan pemberian pakan terhadap ikan
- mengganti pakan dengan jenis yang lain
- memisah-misahkan ikan tersebut dalam beberapa komponen, sehingga
densitasnya menjadi rendah.
b. Berdasarkan terapi kimia:
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 14/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah:
- memeriksa sensifitas dari masing-masing obat yang diberikan pada
ikan.
- memperhatikan batas dari dosis masing-masing obat.
- Tidak memberikan obat sembarangan kepada ikan yang sakit.
Cara pemberian obat:
a. Ditenggelamkan dalam tempat budidaya.
b. Disebarkan pada permukaan air
c. Dicampurkan dalam pakan
d. Dengan cara disuntikan
10. PANEN
Panen dilakukan dan disesuaikan dengan ukuran ikan yang dikehendaki atau
permintaan pasar. Untuk mencapai ukuran 600-800 gram per ekor dibutuhkan
waktu pemeliharaan selama 6-8 bulan dengan survival rate 80-90%. Panen
dilakukan secara total di dalam satu kurungan, bisa juga dilakukan secara
persial tergantung dari ukuran panen yang dikehendaki.
11. DAFTAR PUSTAKA
1) Aji Nugroho. Murdjani M, dan Notowinarto, 1989 Budidaya Ikan Kerapu di
Kurungan Apung, INFIS manual seri 104. Ditjen Perikanan dan IDRC,
Jakarta.
2) Anonim, 1989. Paket Teknologi Budidaya Laut, Seri Budidaya Kakap Putih,
Ditjen Perikanan, Dit Bina Produksi, Jakarta.
3) Anonim, 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Dalam Jaring Terapung,
Ditjen Perikanan, Jakarta.
4) Anonim, 1990/1991, Usaha Penanggulangan Serangan Penyakit Pada
Usaha Budidaya Laut no. 5, BBL Lampung, Ditjen Perikanan.
5) Djamali, A Hutomo, M. Burhanuddin dan S. Martosewojo, 1986, Sumberdaya
Ikan Kakap (Lates calcarifer) dan Bambangan (Lutjanus spp) di Indonesia,
Seri Sumber Daya Alam No. 130. Lon LIPI. Jakarta.
12. SUMBER
Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Laut di Jaring Apung, Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian, 1994
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
Hal. 15/ 15
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
13. KONTAK HUBUNGAN
Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Jakarta, Maret 2001
Disadur oleh : Tarwiyah
KEMBALI KE MENU
Selasa, 01 Juni 2010
Laporan Manajemen Aquakultur Payau
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi. Dengan berbagai kekayaan keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta mampu memberika manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholder terutama masyarakat pesisir, dam meniminimalkan dampak serta konflik yang berpotensi terjadi.
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga adalah warga negara Indonesia.
Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu perlu waktu bertahun-tahun agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya. Kegiatan budidaya laut dan payau berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Meskipun demikian pengembangan budidaya laut dan payau hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Penguasaan manajemen budidaya air payau merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai keberhasilan produksi dengan mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara berkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastuktur, manajemen dumberdaya manusia, manajemen produksi budidaya dan manajemen pemasaran.
Klasifikasi budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton, budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup. Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan yang dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) adalah sebagai berikut :
a. Mahasiswa dapat lebih memahami manajemen perikanan budidaya air payau.
b. Mahasiswa nantinya dapat memahami dan mengaplikasikan teknologi budidaya air payau terkini.
c. Mahasiswa nantinya dapat menerapkan sistem manajemen yang baik tentang pembudidayaan perikanan air payau kepada masyarakat.
1.3. Waktu dan Tempat
Praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) dilaksanakan pada :
Tempat : Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara,
yang terletak di kawasan Pantai Kartini Jepara.
Tanggal : 19 Desember 2008
Pukul : 09.00 – 11.00 WIB
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemilihan Lokasi Budidaya Air Payau
Memilih lokasi untuk usaha pertambakan tergantung pada faktor kondisi sosiologis. Di daerah potensial yang sudah banyak digunakan untuk usaha pertambakan tentu sulit mencari lahan kosong untuk dibuat tambak baru. Di daerah seperti ini, alternatif yang dapat diambil adalah menyewa atau membeli tambak. Di daerah yang belum banyak digunakan untuk pertambakan, cukup banyak lahan yang bisa dimanfaatkan. Namun untuk membangun suatu lokasi menjadi daerah pertambakan, minimal harus dilalui tiga jalur permohonan izin terpadu, yaitu izin dari Dinas Perikanan, Agraria dan Pemerintah Daerah. Bila tambak yang hendak diusahakan lebih dari 1 Ha, diperlukan tambahan permohonan sampai tingkat Gubernur (Murtidjo, 1991).
Pada umumnya di Jawa tidak mungkin lagi dapat ditemukan lahan kososng untuk diusahakan sebagai pertambakan baru, sebaliknya di luar Jawa lokasi untuk ekstensifikasi pertambakan masih tersedia. Di Daerah Istimewa Aceh, status pemilikan areal tambak memang masih semrawut. Di daerah ini pemilikan tambak cenderung berkaitan dengan tradisi hukum adat. Hampir setiap tanah kosong di dekat tambak yang sudah diusahakan sesorang dijadikan miliknya, sehingga tidak mengherankan jika ada orang-orang yang bisa memiliki tambak seluas 33 Ha, mesti status hukumnya hanya Hak Guna Tanah. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, umumnya status pemilikan tambak sudah cukup teratur. Tambak-tambak yang diusahakan di daerah ini sudah berdasarkan Surat Petok dan Surat Keputusan Penggunaan Tanah, sehingga dalam pengelolaan, sangat mungkin dilakukan kerja sama dengan pemilik modal demi mengatasi kesulitan untuk mengusahakan tambak semi intensif dan tambak intensif. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, umumnya lokasi tambak yang diusahakan berstatus tanah milik. Hanya sebagian kecil lokasi tambak yang masih diusahakan berdasarkan Surat Keputusan Penggunaan Tanah. Jual beli tambak di daerah ini seperti jual beli sawah, karena sebagian besar tambak memasuki daerah pedalaman. Di daerah ini sulit sekali mencari lahan luas sekaligus dalam satu wilayah. Jarang ada tambak milik perorangan yang dijual, meski dalam keadaan terjepit sekali pun (Murtidjo, 1991).
Menurut Ranoemihardjo (1984), sebelum membeli atau menyewa tambak, perlu diperhitungkan klasifikasi tambak, yakni :
1. Tambak bersalinitas tinggi adalah tambak yang umumnya berada dekat pantai. Kadar keasinan air tambak ini tinggi, dan sulit diatur, kecuali dengan menggunakan alat-alat tertentu. Pengeringan juga sulit dilakukan. Dengan demikian tambak seperti ini hanya mungkin diusahakan sebagai tambak berpola tunggal intensif. Jika digunakan sebagai tambak udang intensif, diperlukan biaya besar untuk membeli makanan dan peralatan.
2. Tambak bersalinitas menengah adalah tambak yang terlalu dekat dengan laut atau pantai, melainkan dekat dengan sungai. Tambak demikian bisa diatur dengan mudah. Tambak semacam ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena sangat memungkinkan untuk dibuat tambak berpola tunggal atau ganda, dengan sistem semi intensif maupun intensif. Tambak mudah dikeringkan untuk dipupuk, sehingga pertumbuhan klekap (ganggang biru) sebagai makanan alami ikan bandeng dan udang dapat memenuhi kebutuhan dan mengurangi penggunaan makanan tambahan.
3. Tambak bersalinitas rendah adalah tambak yang terletak sangat jauh dari laut atau pantai, tetapi dekat dengan sungai. Dengan kecenderungan umum salinitas air sangat rendah, tambak jenis ini cocok untuk memelihara ikan bandeng.
Menurut Murtidjo (1991), seberapa tinggi potensi kepayauan air tambak juga merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam pemilihan lokasi tambak. Pada tambak yang bersalinitas tinggi, kadar keasinannya sekitar 26 – 35 ‰, tambak bersalinitas menengah berkadar berkadar keasinan sekitar 11 – 25 ‰, sedangkan tambak bersalinitas rendah berkadar keasinan sekitar 3 – 10 ‰. Pengukuran bisa dilakukan dengan alat yang disebut salinometer. Pengamatan menggunakan sampel air tanbak di beberapa tempat secara acak. Selanjutnya sampel-sampel tersebut dikocok-kocok merata. Bila terlalu kotor air bisa disaring dan diambil sebanyak 2 – 3 liter, ditempatkan dalam toples atau tabung kaca. Selanjutnya salinometer diapungkan pada ruangan yang memiliki suhu 27,5 °C.
Derajat keasaman air tambak pun tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pemilihan lokasi tambak, terutama untuk usaha tambak semi intensif yang menggunakan pemupukan. Pengukuran pH air tambak bisa dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut ‘pH meter’ atau ‘pH comparator’, bahakan di Indonesia sudah beredar alat pengukuran keasaman air sistem digital, sehingga lebih praktis dan hasilnya dapat dibaca pada angka yang tampak pada alat tersebut (Ranoemihardjo, 1984).
Derajat keasaman perlu diketahui dengan pasti agar dapat diperoleh data mengenai potensi air tambak, apakah air tambak mengandung cukup mineral atau tidak. Air yang agak alkalis dapat mempercepat penguraian bahan organik menjadi garam mineral, misalnya : nitrat, amonia dan fosfat. Dengan demikian akan mudah diserap sebagai makanan oleh tumbuh-tumbuhan renik. Zat-zat mineral yang cukup akan menyuburkan klekap (ganggang biru) yang merupakan makanan alami ikan dan udang. Namun sebaliknya, air tambak dengan pH lebih rendah atau lebih tinggi dari batas normal jelas kurang baik bagi kesuburan klekap. Bila dipaksakan untuk memelihara ikan dan udang, angka kematian akan tinggi (Murtidjo, 1991).
2.2. Kualitas Lahan
Tanah pada dasar tambak yang potensial adalah tanah liat yang bercampur tanah endapan dan sedikit pasir. Tanah seperti ini pada umumnya terbentuk dari air sungai yang bermata air di gunung yang membawa tanah lahar mengandung lahar. Tanah dasar yang hanya terdiri dari tanah liat atau pasir kurang baik. Terlalu banyak tanah liat akan mengakibatkan tanah mempunyai sifat keras bila kering dan menjadi becek, lengket dan lembek jika basah. Kemampuan menahan air pun terlalu kecil, namun bila terlalu banyak mengandung pasir, tanah tambak akan mudah longsor. Bila terpaksa, tanah liat berpasir masih bisa dimanfaatkan untuk usaha tambak, namun dalam pengelolaan harus sering dikontrol dan jika terjadi kerusakan harus secepatnya diperbaiki (Murtidjo, 1991).
Lahan yang ideal atau alami dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi tanah yang dievaluasi dengan asumsi bahwa lahan/tanah yang dipakai acuan mengandung sifat-sifat ideal. Sifat-sifat tanah sebagai acuan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi. Lahan/tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produksi kandungan oksigen yang terlarut juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara di dalam kandungan lahan/tanah lokasi tambak tersebut (Soepardi, 1983).
Menurut Soepardi (1983), tekstur dan struktur lahan/tanah mempengaruhi jumlah air dan udara di dalam lahan lokasi pertambakan tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan. Ukuran partikel tanah sangat penting karena :
a) Ukuran partikel tanah makin kecil (liat) maka partikel-partikel tanah tersebut akan berikatan lebih kuat dibandingkan dengan yang berukuran besar (pasir). Hal ini berarti tanah akan didominasi pori-pori berukuran kecil. Demikian juga air dan udara di dalam tanah berada di dalam pori-pori kecil tersebut.
b) Partikel lebih kecil mempunyai luas permukaan lebih luas/besar dibandingkan dengan yang besar dalam satuan berat yang sama. Dalam berat yang sama liat dapat mengembang mempunyai sekitar 10 ribu kali luas permukaan partikel debu dan 100 ribu kali dibandingkan dengan pasir. Jika luas permukaan tanah meningkat berarti jumlah air dan kation/unsur hara yang teradsorpsi (diikat) akan meningkat pula.
Proses dan reaksi bahan kapur di dalam tanah, sehingga menurunkan kemasaman tanah adalah sangat komplek. Walaupun demikian pengaruh tersebut dapat diterangkan dengan sangat sederhana, seperti telah disebutkan bahwa pH tanah diekspresikan sebagai aktifitas H+. Sumber utama H+ dalam sebagian besar tanah yang mempunyai pH di bawah 5,5 adalah reaksi Al dengan air
(Winarso, 2005).
Lahan pertambakan yang dipakai umtuk lokasi, tanah yang dipakai tidak hanya dipandang sebagai produk transformasi mineral dan bahan organik dan sebagai media produktivitas ikan yang tinggi, akan tetapi juga dipandang lebih menyeluruh yaitu mencakup fungsi-fungsi lingkungan. Sehingga penilaian tanah saat ini, dikatakan tang yang berkualitas tidak saja tanah tersebut subur dan produktif akan tetapi harus mencakup aspek lingkungan dan kesehatan. Tanah-tanah yang sehat atau berkualitas akan menunjukkan rendahnya bahkan tidak adanya polusi tanah, tidak mengalami degradasi, dan akan memberikan keuntungan bagi petani tambak secara berkelanjutan (Winarso, 2005).
Menurut Bezdicek et al. (1996), menyatakan bahwa kualitas lahan/tanah dapat dipandang dengan dua cara yang berbeda yaitu :
1. Sebagai sifat/atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi idak langsung (seperti kepekaan terhadap erosi atau pemadatan).
2. Sebagai kemampuan tanah untuk menampakan fungsi-fungsi produktivitas, lingkungan, dan kesehatan.
Hingga saat ini terus dikembangkan pendekatan-pendekatan untuk penilaian kualitas lahan/tanah, sehingga dapat diterima oleh sebagian besar pengguna. Akan tetapi pada umumnya penilaian kualitas tanah dapat dikelompokan menjadi dua : 1) menilai kualitas tanah berdasarkan perubahan, kecenderungan, dan perkembangan parameter-parameter tanah oleh penggunaannya dan 2) membandingkan parameter-parameter tanah dengan tanah-tanah yang sudah dikatakan ideal atau berkualitas, sehingga sifat-sifat tanah dapat dipakai sebagai acuan untuk dipergunakan mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi atau yang dinilai. Dalam pengertian ini tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara yang terkandung dalam lahan yang dipergunakan lokasi pertambakan tersebut atau yang telah diserap (Winarso, 2005).
2.3. Kualitas Air
Air merupakan sumber daya alam yang siperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air (Effendi, 2003).
Menurut Dugan (1972); Hutchinson (1975); Miller (1992), air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0°C (32°F) – 100°C, air berwujud cair. Suhu 0°C merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100°C merupakan titik didih (boiling point) air. Tanpa sifat tersebut, air yang terdapat di dalam jaringan tubuh makhluk hidup maupun air yang terdapat di laut, sungai, danau, dan badan air yang lain akan berada dalam bentuk gas atau padatan, sehingga tidak akan terdapat di muka bumi ini, karena sekitar 60% - 90% bagian sel makhluk hidup adalah air (Pecl, 1990).
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas ataupun dingin seketika. Perubahan suhu air yang lambat mencegah terjadinya stress pada makhluk hidup karena adanya perubahan suhu yang mendadak dan memelihara suhu bumi agar sesuai bagi makhluk hidup.
3. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, proses penguapan uap air menjadi cairan (kondensasi) melepaskan energi panas yang besar. Sifat ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya penyebaran panas secara baik di bumi.
4. Air merupakan pelarut yang baik. Air mampu melarutkan berbagai jenis senyawa kimia. Air hujan mengandung senyawa kimia dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan air laut dapat mengandung senyawa kimia hingga 35.000 mg/liter (Tebbut, 1992). Sifat ini memungkinkan unsur hara (nutrien) terlarut diangkut ke seluruh jaringan tubuh makhluk hidup dan memungkinkan bahan-bahan toksik yang masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup dilarutkan untuk dikeluarkan kembali. Sifat ini juga memungkinkan air digunakan sebagai pencuci yang baik dan pengencer bahan pencemar (polutan) yang masuk ke badan air.
5. Air memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Suatu cairan dikatakan memiliki tegangan permukaan yang tinggi jika tekanan antar-molekul cairan tersebut tinggi. Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan air memiliki sifat membasahi suatu bahan secara baik (higher wetiing ability). Tegangan permukaan yang tinggi juga memungkinkan terjadinya sistem kapiler, yaitu kemampuan untuk bergerak dalam pipa kapiler. Adanya tegangan permukaan memungkinkan beberapa organisme, misalnya jenis-jenis insekta, dapat merayap di permukaan air.
6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang merenggang ketika membeku. Pada saat membeku, air membeku sehingga es memiliki nilai densitas (massa/volume) yang lebih rendah daripada air. Dengan demikian, es akan mengapung di air. Sifat ini mengakibatkan danau-danau di daerah yang berilklim dingin hanya membeku pada bagian permukaan sehingga kehidupan organisme akuatik tetap berlangsung. Densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm3 terjadinya pada suhu 3,95°C. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95°C, densitas air lebih kecil dari satu
(Moss, 1993; Tebbut, 1992).
Dalam tatalaksana pemeliharaan, baik di petak peneneran, buyaran, maupun pembesaran, penggantian air sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air tambak tetap baik dan untuk menghindarkan pencemaran air. Salinitas air senantiasa harus dijaga dengan baik, terutama sesudah hujan. Harus diusahakan agar air hujan yang masuk ke dalam tambak tidak mengganggu salinitas air tambak (Murtidjo, 1991).
Penggantian air tambak setiap hari sangat diperlukan agar sisa-sisa makanan buatan terbuang. Sisa makanan akan mengalami proses pembusukan, dalam proses seperti itu tentu membutuhkan banyak oksigen yang sebenarnya sangat diperlukan udang dan bandeng khususnya. Penggantian air dengan bantuan pompa air lebih mudah, karena bisa dilakukan bisa setiap waktu. Dalam pengisian kembali akan lebih baik bila air segar disaring lebih dahulu untuk menghindari kemungkinan masuknya benih ikan buas atau liar, baik predator maupun kompetitor. Untuk lebih gampangnya kita mengambil contoh tambak udang, pemberian kapur 5 – 10 kg/ha setiap minggu, khususnya pada pemeliharaan buyaran dan pembesaran. Kapur merupakan kebutuhan pokok udang, terutama untuk pembentukan kulit dan penggantian cangkang. Kapur juga berfungsi mengikat zat asam arang yang ada di dasar tambak dan menyerap serta menetralkan gas racun seperti amonia (Murtidjo, 1991).
Lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal kolom air berdasarkan intensitas cahaya (eufotik, kompensasi, dan profundal/afotik) kadang-kadang berada pada posisi yang sama dengan lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal berdasarkan perbedaan panas (epilimnion, metalimnion/termoklin, dan hipolimnion). Lapisan eufotik yang biasanya juga merupakan lapisan epilimnion merupakan lapisan yang paling produktif. Lapisan ini mendapat pasokan cahaya matahari yang cukup sehingga proses fotosintesis berlangsung secara optimum. Keberadaan oksigen, baik yang dihasilkan oleh proses fotosintesis maupun difusi dari udara juga mencukupi. Lapisan tanah yang bersifat porous (mampu menahan air) dan permeable (mampu melalukan atau memindahkan air) disebut akifer. Akifer terbagi menjadi dua, yaitu akifer dangkal dan akifer dalam (Effendi, 2003).
2.4. Tipe Teknologi Budidaya Air Payau
Sistem budidaya yang dikenal sekarang ada 3 tingkatan yaitu : budidaya extensive, semi-intensive dan intensive. Sistem budidaya extensive merupakan sistem tradisional yang tambaknya memiliki bentuk dan ukuran tang tidak teratur. Luasnya antara 3 Ha sampai 10 Ha per petak. Biasanya setiap petakan mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5 – 10 m di sepanjang keliling pertakan sebelah dalam. Dibagian tengah juga dibuat caren dari sudut ke sudut (diagonal). Kedalaman caren itu 30 - 50 cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran. Bagian pelataran hanya dapat berisi air sedalam 30 – 40 cm saja. Pada tempat ini akan tumbuh klekap sebagai pakan alami bagi ikan bandeng dan udang. Sistem budidaya semi-intensif adalah metode atau sistem budidaya yang merupakan peningkatan atau perbaikan dari sistem extensive yaitu dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaan airnya, pengelolaan petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 – 3 Ha per petakan. Sistem intensif adalah sistem budidaya yang dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan masukan (input) biaya yang besar. Sebagai imbalan dari masukan yang tinggi, maka dapat dicapai volume produksi yang sangat tinggi pula. Petakan umumnya kecil-kecil, 0,2 – 0,5 Ha per petak. Maksudnya supaya pengelolaan air dan pengawasannya lebih mudah. Kolam atau petak pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari tanah seperti biasa. Atau dindingnya saja dari tembok sedangkan dasarnya dari tanah. Ciri khas dari teknik budidaya intensif ini adalah padat penebaran benur sangat tinggi yaitu 50.000 – 60.000 ekor per Ha (diberi aerasi dengan kincir atau alat lain). Untuk menambah kadar oksigen dalam air. Pergantian air sangat sering agar air tetap bersih dan tidak menjadi kotor oleh sisa-sisa makanan dan kotoran (ekskresi). Keterampilan pelaksana (operator) sangat diperlukan untuk dapat memonitor kualitas air dan dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuatu kelainan dalam air terjadi (Suyanto, 1989).
2.5. Kultivan Budidaya Air Payau
Ikan laut yang memiliki potensi untuk dipelihara dalam tambak adalah ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan ini memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang, serta lincah di dalam air, memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Bila dipelihara dalam tambak ikan bandeng sangat potensial dan cepat pertumbuhannya. Lebih baik lagi bila di pelihara bersama udang karena kelincahannya dapat berfungsi sebagai aerator. Namun demikian, ikan bandeng tidak dapat berkembangbiak di dalam tambak, ikan ini dapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupun rendah, bahkan bias dipelihara di dalam air tawar (Murtidjo, 1989).
Kepiting Bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu hasil dari perikanan yang dapt dibudidayakan dalam tambak. Kepiting sering lari dari tambak untuk memijah ke tengah laut karena sifatnya beruaya ke laut. Ini merupakan suatu siklus hidup yang harus dijalani oleh kepiting untuk meneruskan generasinya. Keinginan terebut tentu akan terhalang bila mereka dipelihara dalam tambak yang dipagari, kecuali untuk induk kepiting yang sudah berukuran besar dan telah memijah beberapa kali. Bagi kepiting muda yang baru akan memjiah tentu masalah ruaya ini akan berkaitan pula dengan proses sebelumnya, yaitu masa kencan, berganti kulit, dan melakukan kopulasi (Kasri, 1992).
Budidaya kakap dalam tambak atau dalam karamba merupakan satu alternative menghindari terjadinya penangkapan ikan yang berlebih di waktu lokasi yang padat dan di andalkan sebagai wilayah penangkapan ikan. Ikan kakap pada mulanya dikenal sebagai ikan hasil penangkapan laut, tetapi dewasa ini berkait kemajuan teknologi perikanan, ikan kakap sudah dapat dipijahkan di bak buatan, ikan kakap sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa Negara seperti Australia, Singapura, Thailand, dan Hongkong (Kasri, 1992).
2.6. Manajemen Budidaya Air Payau
Kondisi manajemen usaha pembenihan di Indonesia selama ini belum memiliki prototip yang jelas. Usaha ini terlihat masih mencoba-coba, sehingga umumnya belum mampu memproduksi benur secara optimal. Berbeda dengan Indonesia, Taiwan berhasil melaksanakan manajemen pembenihan dengan baik, meski mengalami kesulitan memperoleh induk udang. Hampir setiap usaha pembenihan udang disini mampu memproduksi secara optimal. Keberhasilan itu di raih karena ditunjang sistem pembagian kerja dengan memanfaatkan secara optimal manajemen produksi modern. Oleh karena itu di Taiwan dikenal 3 klasifikasi usaha pembenihan, yaitu: usaha pembenihan dengan produksi khusus Nauplius, usaha pembenihan dengan dengan pro post larva 11-13, 20-23
(Murtidjo, 1989).
Lokasi calon tambak yang dekat dengan daerah pemasaran sudah tentu lebih bernilai untuk dipilih, daripada yang jauh. Dari tambak yang terletak strategis di persimpangan jalan, atau mudah dicapai oleh para pedagang, juga lebih bernilai daripada yang terpencil, sekalipun dekat dengan laut dan harganya murah sekali. Yang paling ideal adalah daerah pertambakan umum dari desa yang mempunyai depot es, gudang garam, tempat pengalengan dan fasilitas pengepakan ikan untuk pengiriman jarak jauh. Kunci keberhasilan tambak terletak pada profesi analisis manajer dan staf produksi dalam mengoptimalkan factor-faktor produksi sehingga dapat meningkatkan hasil panen dan memberikan produk yang berkualitas baik dengan harga tinggi. Pengelolaan tambak yang meliputi pengelolaan kualitas air, pengaturan sirkulasi air, persiapan pengolahan tanah dasar dan penebaran benih serta pengendalian hama, pengelolaan pakan buatan, pengaturan jadwal kerja merupakan pekerjaan rutin yang terus-menerus menyita perhatian dan pikiran, sehingga perlu diadakan koordinasi kerja yang sesuai dengan pola budidaya dan pola tanam yang diterapkan (Buwono, 1993).
2.7. Pemasaran Budidaya Air Payau
Setelah pemanenan dan penangkapan udang dan ikan selesai,tahap selanjutnya adalah penangan hasil panen. Kualitas dan kesegaran udang dan ikan harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang dan ikan sampai pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan teksis yaitu penanganan secara fisis mekanis yang berkaitan dengan proses yang lebih lanjut komoditas hasil tambak. Produk perikanan dalam hal ini termasuk pula hasil tambak merupakan bahan makanan yang mudah rusak bila terlalu lama disimpan, kualitasnya akan menurun diikuti dengan perubahan penampilan luar dan rasa. Terjadinya proses pembusukan pada produk perikanan dapat diatasi dengan teknologi pengawetan seperti penggunaan es, penggaraman, pengasapan dan pengeringan (Murtidjo, 1989).
Para pengusaha tambak di daerah Sidoarjo biasanya hanya memungut hasil dari satu petakan saja, dari sebuah unit tambak tipe porong atau taman, sehingga pengurusannya pun dapat seksama, sampai tak ada seekor ikan pun (ibaratnya yang rusak dan hilang). Hasil pencernaan yang sedikit-sedikit ini memang merupakan siasat untuk mempertahankan harga ikan bandeng agar senantiasa tinggi. Sebab, segera para tengkulak menghadapi hasil panenan yang melimpah, segera pula mereka menekan harga. Kebanyakan karena modal kulakan mereka sangat terbatas (dan tidak mau berusahah memperbaikinya dengan meminjam modal ke bank pusat, melainkan justru memakai keadaan itu sebagai alasan untuk menekan harga), sehingga tidak mungkin membali bandeng dalam partai yang lebih besar daripada biasanya itu, dengan demikian maka dimana-mana dapat dilihat, hasil dibagi sesuai dengan besarnya permintaan pasaran saja. Ini berarti sedikit pada hari (bulan biasa), dan meningkat pada hari raya dan musim paceklik ikan laut. Rencanan pemanenan kemudian disesuaikan dengan naik turunnya harga, sehubungan dengan naik turunnya permintaan masyarakat (Soeseno, 1983).
III. HASIL
3.1. Lokasi Budidaya
Kegiatan budidaya air payau di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, berlokasi dekat dengan laut. Tambak yang dikembangkan di daerah tersebut terletak ± 25 meter dari laut dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan lokasi tambak ini di dasarkan pada pertimbangan antara lain dekat dengan muara sungai dan laut (tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal), kondisi lahan untuk kegiatan budidaya, jaringan pendukung yang menunjang kegiatan seperti transportasi (aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4 atau jauh dekatnya dengan jalan raya).
3.2. Kualitas Lahan dan Air
Persyaratan lahan (tanah) memegang peranan penting dalam menentukan baik atau tidaknya tanah untuk usaha pertambakan. Tanah yang baik tidak hanya mampu menahan air tetapi harus mampu menyediakan berbagai unsur hara. Tekstur tanah tambak untuk pembesaran di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah pasir bertanah dengan warna tanah kecoklatan. Tanah dengan kandungan pasir yang besar kurang bagus untuk tambak sebab tanah menjadi porous dan miskin unsur hara. Tanah porous ini sulit untuk menahan air sehingga ada beberapa tambak yang dilapisi dengan plastik.
Air merupakan media hidup bagi kultivan yang dibudidayakan. Oleh karena itu air yang akan digunakan harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Tambak ini menggunakan tandon sebagai penampung air sekaligus untuk pengendapan dan biofilter sebelum air digunakan untuk pemelliharaan. Air yang digunakan hanya berasal dari air laut dengan metode closed system (resirkulasi air tertutup). Salinitas tambak berkisar antara 20 ‰ – 35 ‰. Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran harus di pertahankan tidak lebih dari 3 ‰ untuk menghindari stres. Fungsi tandon ini sangat penting karena digunakan untuk menekan fluktuasi salinitas yang tinggi.
Suhu air dan pH pada tambak pembesaran harus seimbang (stabil). Jika terjadi penurunan kualitas air maka segera dilakukan treatment dengan mengatur sirkulasi air dan membuang limbah yang berlebihan. Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas air tambak. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air dengan ditandai banyaknya buih yang relatif besar pada kincir.
3.3. Aplikasi Teknologi Pembudidayaan
Berdasarkan tipe teknologi yang digunakan, pada kegiatan tambak di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dikembangkan secara intensif. Penggunaan kincir air dan blower untuk mengontrol dan menambah suplai oksigen. Petakan tambak sudah teratur, menggunakan pipa paralon sebagai saluran pembuangan dan saluran pemasukan menggunakan pompa langsung sehinggga air dapat dikeringkan sewaktu-waktu. Selain itu juga digunakannya tandon yang berfungsi dalam sistem resirkulasi air.
Sistem resirkulasi air merupakan cara pemanfaatan air buangan dari petak pemeliharaan untuk dimasukkan kembali ke petak tersebut dengan mengolahnya di petak tandon sehingga memenuhi persyaratan air bagi kegiatan budidaya. Sistem resirkulasi ini terdiri dari beberapa petak perlakuan, antara lain petak pengendapan, penyaringan (biofilterasi), penyuburan, dan petak oksigenasi. Penerapkan sistem biofilterasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan herbivor dan karnivor, kekerangan dan rumput laut.
3.4. Kultivan yang Dibudidayakan
Tambak yang dikembangkan di tempat ini sesuai dengan prinsip pelestarian lingkungan. Metode budidaya di tambak ini dikembangkan dengan sistem polikultur. Kultivan yang dipelihara antara lain udang windu, ikan kerapu, bandeng, kerang hijau dan rumput laut (E. cotoni). Semua kultivan tersebut dipelihara dan dimanfaatkan untuk proses pelestarian lingkungan menggunakan sistem biofilterasi dalam resirkulasi air.
3.5. Manajemen Operasional Budidaya
Kegiatan operasional pada budidaya tambak tersebut terdiri dari persiapan pengolahan tanah dasar, penebaran benih ke tambak pemeliharaan, pengelolaan dan pemberian pakan, pengawasan dan pengaturan terhadap kualitas air dan hama penyakit, dan pemanenan. Pemberian pakan untuk tambak sistem polikultur dilakukan 2 kali sehari. Pakan ini berupa pakan rucah dan pakan buatan. Untuk kontrol terhadap kualitas air dilakukan 2 kali selama satu minggu.
Pengaturan dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan kontrol terhadap limbah hasil budidaya. Limbah ini dikelola kembali untuk digunakan sebagai media pemeliharaan. Metode pengelolaan ini dengan cara memasukkan air buangan limbah ke dalam petak pengendapan. Saluran air dilengkapi dengan sekat berselang-seling untuk memperpanjang dan memperlambat aliran air agar lumpur dan kotoran mengendap. Selanjutnya masuk ke petak penyaringan (biofilter) agar bahan organik dan racun terlarut. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat mengendalikan kepadatan plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga berisi tanaman atau tumbuhan air (rumput laut) yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil perombakan bahan organik. Rumput laut yang digunakan berasal dari jenis E. Cotoni. Air hasil dari penyaringan ini dapat langsung digunakan untuk pemeliharaan kembali.
3.6. Manajemen Organisasi Kegiatan Budidaya
Untuk budidaya tambak berpola intensif, salah satu faktor penting untuk kelancaran kegiatan operasional ditentukan oleh struktur organisasinya. Kejelian dari pemimpin dibutuhkan untuk menempatkan orang-orang yang langsung dapat mengadaptasikan diri dengan jenis kegiatan operasional tambak. Penyusunan bentuk struktur organisasi perlu memperhatikan keahlian khusus tiap orang untuk dapat langsung ditempatkan pada bagian yang sesuai dengan pekerjaan baik teknis maupun non teknis. Pada kegiatan budidaya ini, setiap petakan tambak dibentuk satu tim kerja non teknis dengan beranggotakan ± 5 orang untuk bertanggungajawab terhadap kegiatan operasional tambak tersebut. Jika ada masalah dengan kegiatan operasional di lapangan, maka tim ini akan berkonsultasi dengan bagian teknisi untuk memecahkan masalah tersebut.
3.7. Manajemen Sumberdaya manusia
Untuk melaksanakan kegiatan operasional dengan baik, diperlukan adanya keterampilan dan keahlian dari manusianya (tenaga kerja). Teknisi tambak dalam organisasi adalah staf ahli (sarjana) perikanan yang terampil dan memiliki pengalaman memadai serta menguasai operasional tambak. Pengalaman kerja sangat membantu dalam mengatur, mengkoordinasi serta mengambil keputusan tentang jenis kegitan operasional secara teknis dan non teknis baik pekerjaan yang berat maupun ringan.
3.8. Pemasaran Hasil Budidaya
Hasil budidaya pada Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara didistribusikan ke distributor besar yang langsung datang ke Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) sendiri.
IV. ANALISA HASIL
4.1. Analisa Faktor Utama Pembudidayaan
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang terletak di ujung pantai kota Jepara memiliki lokasi yang strategis untuk digunakan sebagai lokasi pembudidayaan. Hal ini antara lain didukung oleh perairan laut Jepara yang tidak digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal. Sehingga tingkat pencemaran rendah karena tidak adanya sisa pembakaran bahan bakar kapal. Sumber air yang digunakan bisa dibilang layak untuk lokasi pembudidayaan karena tidak tercemar bahan kimia.
Teknologi yang digunakan merupakan teknologi pembudidayaan secara intensif. Teknologi ini menggunakan kincir air untuk menjaga suplai oksigen dalam tambak. Konstruksi pada tambak menggunakan beton sebagai dindingnya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kerusakan pada tambak oleh hama seperti kepiting. Selain itu, hal ini dimaksudkan karena substrat dasar tambak adalah berpasir.
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) membudidayakan kultivan yang bernilai ekonomis penting dan memiliki pasaran luas. Kultivan yang dibudidayakan adalah kultivan yang memiliki habitat air payau dan air laut, antara lain udang, rajungan, kerapu, abalone, rumput laut, kakap, dan pakan alami. Kultivan-kultivan ini selain untuk kegiatan penjualan, juga dimaksudkan untuk kegiatan penelitian bagi kemajuan dunia perikanan.
4.2. Analisa Aspek Manajemen
Aspek manajemen operasional budidaya di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara telah tertata dengan teratur. Hal ini dapat dilihat dengan adanya diversivikasi antara kegiatan produksi maupun kegiatan penelitian. Pada kegiatan produksi, sistem operasionalnya juga diatur sedemikian rupa mulai dari pemijahan, pembenihan, dan pembesaran. Hal ini dapat dilihat dengan pemisahan lokasi-lokasi yang digunakan untuk kegiatan tersebut berjarakterpisah. Jam kerja yang telah diatur sedemikian rupa memungkinkan para karyawan untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Pembagian kerja yang diterapkan juga memungkinkan diperolehnya hasil kerja yang optimal. Bagian administrasi hanya mengurusi tugasnya dalam hal administratif saja. Sedangkan bagian lapangan diserahkan pada karyawan yang bertugas di lapangan. Pembagian terdiri dari kepala bagian yang dibantu oleh para pekerja. Selain itu, juga terdapat pagawai laboratorium yang bertugas menganalisa hal-hal yang bersifat laboratoris.
Sumberdaya manusia yang dimiliki Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sangat beragam. Mayoritas diisi oleh para lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sehingga mampu menghasilkan kualitas kerja yang baik. Selain itu, inovasi maupun terobosan baru dari para karyawan sangat diharapkan untuk kemajuan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Dari segi pekerja lapangan, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) memiliki banyak pekerja yang memiliki banyak pengalaman di dunia perikanan karena telah menekuni dunia perikanan cukup lama.
4.3. Forecasting
Kedepannya, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara hendaknya lebih memperhatikan pengolahan tambak pasca panen untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak. Hal ini juga diharapkan untuk meningkatkan produksi budidaya mengingat sistem yang digunakan adalah sistem budidaya intensif. Sistem budidaya intensif merupakan sistem yang menurunkan kualitas lingkungan karena terus menerus dipakai untuk memacu hasil budidaya. Sehingga apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan suatu saat nanti akan mematikan kegiatan budidaya.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah keberadaan green belt berupa tanaman mangrove. Mengingat lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang berada di pinggir laut, maka akan sangat rawan terhadap abrasi pantai maupun serangan ombak. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, maka sangat diperlukan untuk penanaman mangrove di sekitar lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sehingga diharapkan terjaganya ekosistem di sekitar lokasi budidaya.
V. REKOMENDASI
5.1. Faktor yang Mempengaruhi Pembudidayaan
Secara garis besar, kegiatan akuakultur dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan produksi on farm dan kegiatan produksi off farm. Kegiatan produksi on farm antara lain meliputi pembenihan dan pembesaran, sedangkan kegiatan off farm antara lain meliputi pengadaan prasarana dan saran produksi, penanganan hasil panen, distribusi hasil dan pemasaran.
Pembenihan ikan adalah kegitan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan benih dan selanjutnyabenih yang dihasilkan menjadi komponen input bagi kegiatan pembesaran. Pembesaran ikan adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan ikan ukuran konsumsi.
Dalam kegiatan budidaya, ada beberapa aspek yang diperlukan antara lain adalah : pemilihan spesies, lokasi budidaya, kontruksi, skala budidaya, pasar, dan ukuran jual. Spesies yang menjadi pilihan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah didapat, mudah dibudidayakan, dapat diproduksi dalam unit budidaya, memiliki nilai ekonomis tinggi, relatif tahan terhadap penyakit, dan disukai masyarakat. Pemilihan spesies juga dipengaruhi oleh keberadaan stock. Faktor yang kedua adalah pemilihan lokasi budidaya. Langkah awal keberhasilan usaha budidaya adalah pemilihan lokasi, kontruksi, dan penentuan skala budidaya. Oleh karena itu lokasi yang ideal untuk usaha budidaya harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut :
Lokasi budidaya harus bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi air. Polusi yang terdapat pada tambak dapat berupa limbah rumah tangga, oleh karena itu rekomendasi yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar agar tidak membuang limbah rumah tangga ke saluran air yang digunakan untuk usaha budidaya.
Perbaikan saluran air agar dapat terjadi keseimbangan antara parameter air dengan tanah.
Apabila terjadi penyakit pada kultivan dalam wadah budidaya maka rekomendasi yang dilakukan agar terjadi kesinambungan hidup antara yang sehat dan yang mati karena terkena penyakit dengan cara mengambil kultivan yang telah mati, dan mengobati kultivan yang sakit dengan segera.
5.2. Manajemen Pembudidayaan
Penguasaan Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai keberhasilan produksi dalam mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara bwrkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastruktur, manajemen sumber daya manusia, manajemen produksi budidaya, dan manajemen pemasaran.
Manajemen infrastruktur
Manajemen infrastuktur adalah usaha yang dilakukan untuk perbaikan sarana dan prasarana budidaya. Manajemen infrastruktur terdiri dari :
a. Persiapan wadah
Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk mendapatkan lingkungan yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh maksimal. Persiapan wadah meliputi pengeringan dasar kolam, pengangkatan lumpur, perbaikan pematang dan pintu air, pengapuran, pemupukan, pengisian air, pemberantasan hama dan penyakit.
b. Penebaran benih
Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah dengan padat penebaran (stock density) tertentu. Benih berasal dari produksi pembenihan atau hasil tangkaan dari alam dengan kriteria : spesies definitif dan tidak bercampur dengan spesies lain, organ tubuh lengkap, ukuran seragam, respon terhadap gangguan, posisi tubuh di dalam air normal, menghadap dan melawan arus ketika diberi arus, berwarna cerah, dan tidak membawa penyakit.
Manajemen sumber daya manusia
Spesialisasi dalam pengolahan tambak sangat diperlukan agar pendeteksian terhadap hal-hal yang muncul, misalnya masuknya penyakit pada tubuh ikan dapat segera teratasi, termasuk di dalamnya yang mempunyai keahlian dalam bidang pemasaran.
BAB VI. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini mempelajari tentang penentuan lokasi budidaya, kualitas dari lahan budidaya, kualitas air, kultivan yang dibudidayakan serta tipe teknologi apa yang digunakan dalam budidaya.
2. Aplikasi teknologi yang digunakan dalam budidaya air payau yang ada di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah dengan memanfaatkan air laut sebagai sumber air untuk kegiatan budidaya. Penerapan sistem teknologi ini adalah dengan cara menyaring air laut yang telah ditampung di dalam bak tandon yang telah diisi pasir laut dan pecahan karang sebagai penyaring serta penambahan zat kimia untuk mensterilkan air laut. Setelah beberapa jam kemudian air tersebut baru bisa digunakan.
Saran yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih tertib ketika melakukan wawancara agar informasi yang didapat lebih jelas lagi.
2. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih aktif dalam memberikan pertanyaan agar data serta informasi yang didapat lebih banyak sehingga dengan begitu diharapkan tujuan dari praktikum ini tercapai.
Daftar Pustaka
Bezdicek, D.F., R.I. Papendick, and R. Lal. 1996. Introduction: Importance of Soil Quality to Health and Sustainable Land Management. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.). 1999. Methods for Assessing Soil Quality. Soil Science Society of America, Inc. Wisconsin. 1-8.
Buwono, Ibnu D. 1993. Tambak Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta.
Dugan, P.R. 1972. Biochemical Ecology of Water Pollution. Plenum Press. New York. 159 p.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Hutchinson, G.E. 1975. A Treatise on Limnology. John Wiley and Sons. New York. 942 p.
Kasri, A.1992. Budidaya Kepiting Bakau. PT. Bharata Niaga Media. Jakarta.
Miller, G.T. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company. California. 705 p.
Moss, B. 1993. Ecology of Freshwaters. Second edition. Blackwell Scientific Publications. London. 415 p.
Murtidjo, Bambang A. 1989. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.
Murtidjo, Bambang A. 1991. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.
Pecl, K. 1990. The Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223 p.
Rahmanto, S. dan Mudjiman, A. 1989. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya.
Ranoemihardjo, Bambang S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.
Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Gramedia. Jakarta.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Waters. Martinus Nijhoff/Dr.W.Junk. Publ, Dordrecht, The Netherlands. 497 p.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.
1.1. Latar Belakang
Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi. Dengan berbagai kekayaan keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta mampu memberika manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholder terutama masyarakat pesisir, dam meniminimalkan dampak serta konflik yang berpotensi terjadi.
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga adalah warga negara Indonesia.
Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu perlu waktu bertahun-tahun agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya. Kegiatan budidaya laut dan payau berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Meskipun demikian pengembangan budidaya laut dan payau hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Penguasaan manajemen budidaya air payau merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai keberhasilan produksi dengan mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara berkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastuktur, manajemen dumberdaya manusia, manajemen produksi budidaya dan manajemen pemasaran.
Klasifikasi budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton, budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup. Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan yang dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) adalah sebagai berikut :
a. Mahasiswa dapat lebih memahami manajemen perikanan budidaya air payau.
b. Mahasiswa nantinya dapat memahami dan mengaplikasikan teknologi budidaya air payau terkini.
c. Mahasiswa nantinya dapat menerapkan sistem manajemen yang baik tentang pembudidayaan perikanan air payau kepada masyarakat.
1.3. Waktu dan Tempat
Praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) dilaksanakan pada :
Tempat : Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara,
yang terletak di kawasan Pantai Kartini Jepara.
Tanggal : 19 Desember 2008
Pukul : 09.00 – 11.00 WIB
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemilihan Lokasi Budidaya Air Payau
Memilih lokasi untuk usaha pertambakan tergantung pada faktor kondisi sosiologis. Di daerah potensial yang sudah banyak digunakan untuk usaha pertambakan tentu sulit mencari lahan kosong untuk dibuat tambak baru. Di daerah seperti ini, alternatif yang dapat diambil adalah menyewa atau membeli tambak. Di daerah yang belum banyak digunakan untuk pertambakan, cukup banyak lahan yang bisa dimanfaatkan. Namun untuk membangun suatu lokasi menjadi daerah pertambakan, minimal harus dilalui tiga jalur permohonan izin terpadu, yaitu izin dari Dinas Perikanan, Agraria dan Pemerintah Daerah. Bila tambak yang hendak diusahakan lebih dari 1 Ha, diperlukan tambahan permohonan sampai tingkat Gubernur (Murtidjo, 1991).
Pada umumnya di Jawa tidak mungkin lagi dapat ditemukan lahan kososng untuk diusahakan sebagai pertambakan baru, sebaliknya di luar Jawa lokasi untuk ekstensifikasi pertambakan masih tersedia. Di Daerah Istimewa Aceh, status pemilikan areal tambak memang masih semrawut. Di daerah ini pemilikan tambak cenderung berkaitan dengan tradisi hukum adat. Hampir setiap tanah kosong di dekat tambak yang sudah diusahakan sesorang dijadikan miliknya, sehingga tidak mengherankan jika ada orang-orang yang bisa memiliki tambak seluas 33 Ha, mesti status hukumnya hanya Hak Guna Tanah. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, umumnya status pemilikan tambak sudah cukup teratur. Tambak-tambak yang diusahakan di daerah ini sudah berdasarkan Surat Petok dan Surat Keputusan Penggunaan Tanah, sehingga dalam pengelolaan, sangat mungkin dilakukan kerja sama dengan pemilik modal demi mengatasi kesulitan untuk mengusahakan tambak semi intensif dan tambak intensif. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, umumnya lokasi tambak yang diusahakan berstatus tanah milik. Hanya sebagian kecil lokasi tambak yang masih diusahakan berdasarkan Surat Keputusan Penggunaan Tanah. Jual beli tambak di daerah ini seperti jual beli sawah, karena sebagian besar tambak memasuki daerah pedalaman. Di daerah ini sulit sekali mencari lahan luas sekaligus dalam satu wilayah. Jarang ada tambak milik perorangan yang dijual, meski dalam keadaan terjepit sekali pun (Murtidjo, 1991).
Menurut Ranoemihardjo (1984), sebelum membeli atau menyewa tambak, perlu diperhitungkan klasifikasi tambak, yakni :
1. Tambak bersalinitas tinggi adalah tambak yang umumnya berada dekat pantai. Kadar keasinan air tambak ini tinggi, dan sulit diatur, kecuali dengan menggunakan alat-alat tertentu. Pengeringan juga sulit dilakukan. Dengan demikian tambak seperti ini hanya mungkin diusahakan sebagai tambak berpola tunggal intensif. Jika digunakan sebagai tambak udang intensif, diperlukan biaya besar untuk membeli makanan dan peralatan.
2. Tambak bersalinitas menengah adalah tambak yang terlalu dekat dengan laut atau pantai, melainkan dekat dengan sungai. Tambak demikian bisa diatur dengan mudah. Tambak semacam ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena sangat memungkinkan untuk dibuat tambak berpola tunggal atau ganda, dengan sistem semi intensif maupun intensif. Tambak mudah dikeringkan untuk dipupuk, sehingga pertumbuhan klekap (ganggang biru) sebagai makanan alami ikan bandeng dan udang dapat memenuhi kebutuhan dan mengurangi penggunaan makanan tambahan.
3. Tambak bersalinitas rendah adalah tambak yang terletak sangat jauh dari laut atau pantai, tetapi dekat dengan sungai. Dengan kecenderungan umum salinitas air sangat rendah, tambak jenis ini cocok untuk memelihara ikan bandeng.
Menurut Murtidjo (1991), seberapa tinggi potensi kepayauan air tambak juga merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam pemilihan lokasi tambak. Pada tambak yang bersalinitas tinggi, kadar keasinannya sekitar 26 – 35 ‰, tambak bersalinitas menengah berkadar berkadar keasinan sekitar 11 – 25 ‰, sedangkan tambak bersalinitas rendah berkadar keasinan sekitar 3 – 10 ‰. Pengukuran bisa dilakukan dengan alat yang disebut salinometer. Pengamatan menggunakan sampel air tanbak di beberapa tempat secara acak. Selanjutnya sampel-sampel tersebut dikocok-kocok merata. Bila terlalu kotor air bisa disaring dan diambil sebanyak 2 – 3 liter, ditempatkan dalam toples atau tabung kaca. Selanjutnya salinometer diapungkan pada ruangan yang memiliki suhu 27,5 °C.
Derajat keasaman air tambak pun tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pemilihan lokasi tambak, terutama untuk usaha tambak semi intensif yang menggunakan pemupukan. Pengukuran pH air tambak bisa dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut ‘pH meter’ atau ‘pH comparator’, bahakan di Indonesia sudah beredar alat pengukuran keasaman air sistem digital, sehingga lebih praktis dan hasilnya dapat dibaca pada angka yang tampak pada alat tersebut (Ranoemihardjo, 1984).
Derajat keasaman perlu diketahui dengan pasti agar dapat diperoleh data mengenai potensi air tambak, apakah air tambak mengandung cukup mineral atau tidak. Air yang agak alkalis dapat mempercepat penguraian bahan organik menjadi garam mineral, misalnya : nitrat, amonia dan fosfat. Dengan demikian akan mudah diserap sebagai makanan oleh tumbuh-tumbuhan renik. Zat-zat mineral yang cukup akan menyuburkan klekap (ganggang biru) yang merupakan makanan alami ikan dan udang. Namun sebaliknya, air tambak dengan pH lebih rendah atau lebih tinggi dari batas normal jelas kurang baik bagi kesuburan klekap. Bila dipaksakan untuk memelihara ikan dan udang, angka kematian akan tinggi (Murtidjo, 1991).
2.2. Kualitas Lahan
Tanah pada dasar tambak yang potensial adalah tanah liat yang bercampur tanah endapan dan sedikit pasir. Tanah seperti ini pada umumnya terbentuk dari air sungai yang bermata air di gunung yang membawa tanah lahar mengandung lahar. Tanah dasar yang hanya terdiri dari tanah liat atau pasir kurang baik. Terlalu banyak tanah liat akan mengakibatkan tanah mempunyai sifat keras bila kering dan menjadi becek, lengket dan lembek jika basah. Kemampuan menahan air pun terlalu kecil, namun bila terlalu banyak mengandung pasir, tanah tambak akan mudah longsor. Bila terpaksa, tanah liat berpasir masih bisa dimanfaatkan untuk usaha tambak, namun dalam pengelolaan harus sering dikontrol dan jika terjadi kerusakan harus secepatnya diperbaiki (Murtidjo, 1991).
Lahan yang ideal atau alami dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi tanah yang dievaluasi dengan asumsi bahwa lahan/tanah yang dipakai acuan mengandung sifat-sifat ideal. Sifat-sifat tanah sebagai acuan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi. Lahan/tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produksi kandungan oksigen yang terlarut juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara di dalam kandungan lahan/tanah lokasi tambak tersebut (Soepardi, 1983).
Menurut Soepardi (1983), tekstur dan struktur lahan/tanah mempengaruhi jumlah air dan udara di dalam lahan lokasi pertambakan tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan. Ukuran partikel tanah sangat penting karena :
a) Ukuran partikel tanah makin kecil (liat) maka partikel-partikel tanah tersebut akan berikatan lebih kuat dibandingkan dengan yang berukuran besar (pasir). Hal ini berarti tanah akan didominasi pori-pori berukuran kecil. Demikian juga air dan udara di dalam tanah berada di dalam pori-pori kecil tersebut.
b) Partikel lebih kecil mempunyai luas permukaan lebih luas/besar dibandingkan dengan yang besar dalam satuan berat yang sama. Dalam berat yang sama liat dapat mengembang mempunyai sekitar 10 ribu kali luas permukaan partikel debu dan 100 ribu kali dibandingkan dengan pasir. Jika luas permukaan tanah meningkat berarti jumlah air dan kation/unsur hara yang teradsorpsi (diikat) akan meningkat pula.
Proses dan reaksi bahan kapur di dalam tanah, sehingga menurunkan kemasaman tanah adalah sangat komplek. Walaupun demikian pengaruh tersebut dapat diterangkan dengan sangat sederhana, seperti telah disebutkan bahwa pH tanah diekspresikan sebagai aktifitas H+. Sumber utama H+ dalam sebagian besar tanah yang mempunyai pH di bawah 5,5 adalah reaksi Al dengan air
(Winarso, 2005).
Lahan pertambakan yang dipakai umtuk lokasi, tanah yang dipakai tidak hanya dipandang sebagai produk transformasi mineral dan bahan organik dan sebagai media produktivitas ikan yang tinggi, akan tetapi juga dipandang lebih menyeluruh yaitu mencakup fungsi-fungsi lingkungan. Sehingga penilaian tanah saat ini, dikatakan tang yang berkualitas tidak saja tanah tersebut subur dan produktif akan tetapi harus mencakup aspek lingkungan dan kesehatan. Tanah-tanah yang sehat atau berkualitas akan menunjukkan rendahnya bahkan tidak adanya polusi tanah, tidak mengalami degradasi, dan akan memberikan keuntungan bagi petani tambak secara berkelanjutan (Winarso, 2005).
Menurut Bezdicek et al. (1996), menyatakan bahwa kualitas lahan/tanah dapat dipandang dengan dua cara yang berbeda yaitu :
1. Sebagai sifat/atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi idak langsung (seperti kepekaan terhadap erosi atau pemadatan).
2. Sebagai kemampuan tanah untuk menampakan fungsi-fungsi produktivitas, lingkungan, dan kesehatan.
Hingga saat ini terus dikembangkan pendekatan-pendekatan untuk penilaian kualitas lahan/tanah, sehingga dapat diterima oleh sebagian besar pengguna. Akan tetapi pada umumnya penilaian kualitas tanah dapat dikelompokan menjadi dua : 1) menilai kualitas tanah berdasarkan perubahan, kecenderungan, dan perkembangan parameter-parameter tanah oleh penggunaannya dan 2) membandingkan parameter-parameter tanah dengan tanah-tanah yang sudah dikatakan ideal atau berkualitas, sehingga sifat-sifat tanah dapat dipakai sebagai acuan untuk dipergunakan mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi atau yang dinilai. Dalam pengertian ini tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara yang terkandung dalam lahan yang dipergunakan lokasi pertambakan tersebut atau yang telah diserap (Winarso, 2005).
2.3. Kualitas Air
Air merupakan sumber daya alam yang siperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air (Effendi, 2003).
Menurut Dugan (1972); Hutchinson (1975); Miller (1992), air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0°C (32°F) – 100°C, air berwujud cair. Suhu 0°C merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100°C merupakan titik didih (boiling point) air. Tanpa sifat tersebut, air yang terdapat di dalam jaringan tubuh makhluk hidup maupun air yang terdapat di laut, sungai, danau, dan badan air yang lain akan berada dalam bentuk gas atau padatan, sehingga tidak akan terdapat di muka bumi ini, karena sekitar 60% - 90% bagian sel makhluk hidup adalah air (Pecl, 1990).
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas ataupun dingin seketika. Perubahan suhu air yang lambat mencegah terjadinya stress pada makhluk hidup karena adanya perubahan suhu yang mendadak dan memelihara suhu bumi agar sesuai bagi makhluk hidup.
3. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, proses penguapan uap air menjadi cairan (kondensasi) melepaskan energi panas yang besar. Sifat ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya penyebaran panas secara baik di bumi.
4. Air merupakan pelarut yang baik. Air mampu melarutkan berbagai jenis senyawa kimia. Air hujan mengandung senyawa kimia dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan air laut dapat mengandung senyawa kimia hingga 35.000 mg/liter (Tebbut, 1992). Sifat ini memungkinkan unsur hara (nutrien) terlarut diangkut ke seluruh jaringan tubuh makhluk hidup dan memungkinkan bahan-bahan toksik yang masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup dilarutkan untuk dikeluarkan kembali. Sifat ini juga memungkinkan air digunakan sebagai pencuci yang baik dan pengencer bahan pencemar (polutan) yang masuk ke badan air.
5. Air memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Suatu cairan dikatakan memiliki tegangan permukaan yang tinggi jika tekanan antar-molekul cairan tersebut tinggi. Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan air memiliki sifat membasahi suatu bahan secara baik (higher wetiing ability). Tegangan permukaan yang tinggi juga memungkinkan terjadinya sistem kapiler, yaitu kemampuan untuk bergerak dalam pipa kapiler. Adanya tegangan permukaan memungkinkan beberapa organisme, misalnya jenis-jenis insekta, dapat merayap di permukaan air.
6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang merenggang ketika membeku. Pada saat membeku, air membeku sehingga es memiliki nilai densitas (massa/volume) yang lebih rendah daripada air. Dengan demikian, es akan mengapung di air. Sifat ini mengakibatkan danau-danau di daerah yang berilklim dingin hanya membeku pada bagian permukaan sehingga kehidupan organisme akuatik tetap berlangsung. Densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm3 terjadinya pada suhu 3,95°C. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95°C, densitas air lebih kecil dari satu
(Moss, 1993; Tebbut, 1992).
Dalam tatalaksana pemeliharaan, baik di petak peneneran, buyaran, maupun pembesaran, penggantian air sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air tambak tetap baik dan untuk menghindarkan pencemaran air. Salinitas air senantiasa harus dijaga dengan baik, terutama sesudah hujan. Harus diusahakan agar air hujan yang masuk ke dalam tambak tidak mengganggu salinitas air tambak (Murtidjo, 1991).
Penggantian air tambak setiap hari sangat diperlukan agar sisa-sisa makanan buatan terbuang. Sisa makanan akan mengalami proses pembusukan, dalam proses seperti itu tentu membutuhkan banyak oksigen yang sebenarnya sangat diperlukan udang dan bandeng khususnya. Penggantian air dengan bantuan pompa air lebih mudah, karena bisa dilakukan bisa setiap waktu. Dalam pengisian kembali akan lebih baik bila air segar disaring lebih dahulu untuk menghindari kemungkinan masuknya benih ikan buas atau liar, baik predator maupun kompetitor. Untuk lebih gampangnya kita mengambil contoh tambak udang, pemberian kapur 5 – 10 kg/ha setiap minggu, khususnya pada pemeliharaan buyaran dan pembesaran. Kapur merupakan kebutuhan pokok udang, terutama untuk pembentukan kulit dan penggantian cangkang. Kapur juga berfungsi mengikat zat asam arang yang ada di dasar tambak dan menyerap serta menetralkan gas racun seperti amonia (Murtidjo, 1991).
Lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal kolom air berdasarkan intensitas cahaya (eufotik, kompensasi, dan profundal/afotik) kadang-kadang berada pada posisi yang sama dengan lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal berdasarkan perbedaan panas (epilimnion, metalimnion/termoklin, dan hipolimnion). Lapisan eufotik yang biasanya juga merupakan lapisan epilimnion merupakan lapisan yang paling produktif. Lapisan ini mendapat pasokan cahaya matahari yang cukup sehingga proses fotosintesis berlangsung secara optimum. Keberadaan oksigen, baik yang dihasilkan oleh proses fotosintesis maupun difusi dari udara juga mencukupi. Lapisan tanah yang bersifat porous (mampu menahan air) dan permeable (mampu melalukan atau memindahkan air) disebut akifer. Akifer terbagi menjadi dua, yaitu akifer dangkal dan akifer dalam (Effendi, 2003).
2.4. Tipe Teknologi Budidaya Air Payau
Sistem budidaya yang dikenal sekarang ada 3 tingkatan yaitu : budidaya extensive, semi-intensive dan intensive. Sistem budidaya extensive merupakan sistem tradisional yang tambaknya memiliki bentuk dan ukuran tang tidak teratur. Luasnya antara 3 Ha sampai 10 Ha per petak. Biasanya setiap petakan mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5 – 10 m di sepanjang keliling pertakan sebelah dalam. Dibagian tengah juga dibuat caren dari sudut ke sudut (diagonal). Kedalaman caren itu 30 - 50 cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran. Bagian pelataran hanya dapat berisi air sedalam 30 – 40 cm saja. Pada tempat ini akan tumbuh klekap sebagai pakan alami bagi ikan bandeng dan udang. Sistem budidaya semi-intensif adalah metode atau sistem budidaya yang merupakan peningkatan atau perbaikan dari sistem extensive yaitu dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaan airnya, pengelolaan petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 – 3 Ha per petakan. Sistem intensif adalah sistem budidaya yang dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan masukan (input) biaya yang besar. Sebagai imbalan dari masukan yang tinggi, maka dapat dicapai volume produksi yang sangat tinggi pula. Petakan umumnya kecil-kecil, 0,2 – 0,5 Ha per petak. Maksudnya supaya pengelolaan air dan pengawasannya lebih mudah. Kolam atau petak pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari tanah seperti biasa. Atau dindingnya saja dari tembok sedangkan dasarnya dari tanah. Ciri khas dari teknik budidaya intensif ini adalah padat penebaran benur sangat tinggi yaitu 50.000 – 60.000 ekor per Ha (diberi aerasi dengan kincir atau alat lain). Untuk menambah kadar oksigen dalam air. Pergantian air sangat sering agar air tetap bersih dan tidak menjadi kotor oleh sisa-sisa makanan dan kotoran (ekskresi). Keterampilan pelaksana (operator) sangat diperlukan untuk dapat memonitor kualitas air dan dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuatu kelainan dalam air terjadi (Suyanto, 1989).
2.5. Kultivan Budidaya Air Payau
Ikan laut yang memiliki potensi untuk dipelihara dalam tambak adalah ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan ini memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang, serta lincah di dalam air, memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Bila dipelihara dalam tambak ikan bandeng sangat potensial dan cepat pertumbuhannya. Lebih baik lagi bila di pelihara bersama udang karena kelincahannya dapat berfungsi sebagai aerator. Namun demikian, ikan bandeng tidak dapat berkembangbiak di dalam tambak, ikan ini dapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupun rendah, bahkan bias dipelihara di dalam air tawar (Murtidjo, 1989).
Kepiting Bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu hasil dari perikanan yang dapt dibudidayakan dalam tambak. Kepiting sering lari dari tambak untuk memijah ke tengah laut karena sifatnya beruaya ke laut. Ini merupakan suatu siklus hidup yang harus dijalani oleh kepiting untuk meneruskan generasinya. Keinginan terebut tentu akan terhalang bila mereka dipelihara dalam tambak yang dipagari, kecuali untuk induk kepiting yang sudah berukuran besar dan telah memijah beberapa kali. Bagi kepiting muda yang baru akan memjiah tentu masalah ruaya ini akan berkaitan pula dengan proses sebelumnya, yaitu masa kencan, berganti kulit, dan melakukan kopulasi (Kasri, 1992).
Budidaya kakap dalam tambak atau dalam karamba merupakan satu alternative menghindari terjadinya penangkapan ikan yang berlebih di waktu lokasi yang padat dan di andalkan sebagai wilayah penangkapan ikan. Ikan kakap pada mulanya dikenal sebagai ikan hasil penangkapan laut, tetapi dewasa ini berkait kemajuan teknologi perikanan, ikan kakap sudah dapat dipijahkan di bak buatan, ikan kakap sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa Negara seperti Australia, Singapura, Thailand, dan Hongkong (Kasri, 1992).
2.6. Manajemen Budidaya Air Payau
Kondisi manajemen usaha pembenihan di Indonesia selama ini belum memiliki prototip yang jelas. Usaha ini terlihat masih mencoba-coba, sehingga umumnya belum mampu memproduksi benur secara optimal. Berbeda dengan Indonesia, Taiwan berhasil melaksanakan manajemen pembenihan dengan baik, meski mengalami kesulitan memperoleh induk udang. Hampir setiap usaha pembenihan udang disini mampu memproduksi secara optimal. Keberhasilan itu di raih karena ditunjang sistem pembagian kerja dengan memanfaatkan secara optimal manajemen produksi modern. Oleh karena itu di Taiwan dikenal 3 klasifikasi usaha pembenihan, yaitu: usaha pembenihan dengan produksi khusus Nauplius, usaha pembenihan dengan dengan pro post larva 11-13, 20-23
(Murtidjo, 1989).
Lokasi calon tambak yang dekat dengan daerah pemasaran sudah tentu lebih bernilai untuk dipilih, daripada yang jauh. Dari tambak yang terletak strategis di persimpangan jalan, atau mudah dicapai oleh para pedagang, juga lebih bernilai daripada yang terpencil, sekalipun dekat dengan laut dan harganya murah sekali. Yang paling ideal adalah daerah pertambakan umum dari desa yang mempunyai depot es, gudang garam, tempat pengalengan dan fasilitas pengepakan ikan untuk pengiriman jarak jauh. Kunci keberhasilan tambak terletak pada profesi analisis manajer dan staf produksi dalam mengoptimalkan factor-faktor produksi sehingga dapat meningkatkan hasil panen dan memberikan produk yang berkualitas baik dengan harga tinggi. Pengelolaan tambak yang meliputi pengelolaan kualitas air, pengaturan sirkulasi air, persiapan pengolahan tanah dasar dan penebaran benih serta pengendalian hama, pengelolaan pakan buatan, pengaturan jadwal kerja merupakan pekerjaan rutin yang terus-menerus menyita perhatian dan pikiran, sehingga perlu diadakan koordinasi kerja yang sesuai dengan pola budidaya dan pola tanam yang diterapkan (Buwono, 1993).
2.7. Pemasaran Budidaya Air Payau
Setelah pemanenan dan penangkapan udang dan ikan selesai,tahap selanjutnya adalah penangan hasil panen. Kualitas dan kesegaran udang dan ikan harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang dan ikan sampai pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan teksis yaitu penanganan secara fisis mekanis yang berkaitan dengan proses yang lebih lanjut komoditas hasil tambak. Produk perikanan dalam hal ini termasuk pula hasil tambak merupakan bahan makanan yang mudah rusak bila terlalu lama disimpan, kualitasnya akan menurun diikuti dengan perubahan penampilan luar dan rasa. Terjadinya proses pembusukan pada produk perikanan dapat diatasi dengan teknologi pengawetan seperti penggunaan es, penggaraman, pengasapan dan pengeringan (Murtidjo, 1989).
Para pengusaha tambak di daerah Sidoarjo biasanya hanya memungut hasil dari satu petakan saja, dari sebuah unit tambak tipe porong atau taman, sehingga pengurusannya pun dapat seksama, sampai tak ada seekor ikan pun (ibaratnya yang rusak dan hilang). Hasil pencernaan yang sedikit-sedikit ini memang merupakan siasat untuk mempertahankan harga ikan bandeng agar senantiasa tinggi. Sebab, segera para tengkulak menghadapi hasil panenan yang melimpah, segera pula mereka menekan harga. Kebanyakan karena modal kulakan mereka sangat terbatas (dan tidak mau berusahah memperbaikinya dengan meminjam modal ke bank pusat, melainkan justru memakai keadaan itu sebagai alasan untuk menekan harga), sehingga tidak mungkin membali bandeng dalam partai yang lebih besar daripada biasanya itu, dengan demikian maka dimana-mana dapat dilihat, hasil dibagi sesuai dengan besarnya permintaan pasaran saja. Ini berarti sedikit pada hari (bulan biasa), dan meningkat pada hari raya dan musim paceklik ikan laut. Rencanan pemanenan kemudian disesuaikan dengan naik turunnya harga, sehubungan dengan naik turunnya permintaan masyarakat (Soeseno, 1983).
III. HASIL
3.1. Lokasi Budidaya
Kegiatan budidaya air payau di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, berlokasi dekat dengan laut. Tambak yang dikembangkan di daerah tersebut terletak ± 25 meter dari laut dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan lokasi tambak ini di dasarkan pada pertimbangan antara lain dekat dengan muara sungai dan laut (tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal), kondisi lahan untuk kegiatan budidaya, jaringan pendukung yang menunjang kegiatan seperti transportasi (aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4 atau jauh dekatnya dengan jalan raya).
3.2. Kualitas Lahan dan Air
Persyaratan lahan (tanah) memegang peranan penting dalam menentukan baik atau tidaknya tanah untuk usaha pertambakan. Tanah yang baik tidak hanya mampu menahan air tetapi harus mampu menyediakan berbagai unsur hara. Tekstur tanah tambak untuk pembesaran di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah pasir bertanah dengan warna tanah kecoklatan. Tanah dengan kandungan pasir yang besar kurang bagus untuk tambak sebab tanah menjadi porous dan miskin unsur hara. Tanah porous ini sulit untuk menahan air sehingga ada beberapa tambak yang dilapisi dengan plastik.
Air merupakan media hidup bagi kultivan yang dibudidayakan. Oleh karena itu air yang akan digunakan harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Tambak ini menggunakan tandon sebagai penampung air sekaligus untuk pengendapan dan biofilter sebelum air digunakan untuk pemelliharaan. Air yang digunakan hanya berasal dari air laut dengan metode closed system (resirkulasi air tertutup). Salinitas tambak berkisar antara 20 ‰ – 35 ‰. Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran harus di pertahankan tidak lebih dari 3 ‰ untuk menghindari stres. Fungsi tandon ini sangat penting karena digunakan untuk menekan fluktuasi salinitas yang tinggi.
Suhu air dan pH pada tambak pembesaran harus seimbang (stabil). Jika terjadi penurunan kualitas air maka segera dilakukan treatment dengan mengatur sirkulasi air dan membuang limbah yang berlebihan. Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas air tambak. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air dengan ditandai banyaknya buih yang relatif besar pada kincir.
3.3. Aplikasi Teknologi Pembudidayaan
Berdasarkan tipe teknologi yang digunakan, pada kegiatan tambak di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dikembangkan secara intensif. Penggunaan kincir air dan blower untuk mengontrol dan menambah suplai oksigen. Petakan tambak sudah teratur, menggunakan pipa paralon sebagai saluran pembuangan dan saluran pemasukan menggunakan pompa langsung sehinggga air dapat dikeringkan sewaktu-waktu. Selain itu juga digunakannya tandon yang berfungsi dalam sistem resirkulasi air.
Sistem resirkulasi air merupakan cara pemanfaatan air buangan dari petak pemeliharaan untuk dimasukkan kembali ke petak tersebut dengan mengolahnya di petak tandon sehingga memenuhi persyaratan air bagi kegiatan budidaya. Sistem resirkulasi ini terdiri dari beberapa petak perlakuan, antara lain petak pengendapan, penyaringan (biofilterasi), penyuburan, dan petak oksigenasi. Penerapkan sistem biofilterasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan herbivor dan karnivor, kekerangan dan rumput laut.
3.4. Kultivan yang Dibudidayakan
Tambak yang dikembangkan di tempat ini sesuai dengan prinsip pelestarian lingkungan. Metode budidaya di tambak ini dikembangkan dengan sistem polikultur. Kultivan yang dipelihara antara lain udang windu, ikan kerapu, bandeng, kerang hijau dan rumput laut (E. cotoni). Semua kultivan tersebut dipelihara dan dimanfaatkan untuk proses pelestarian lingkungan menggunakan sistem biofilterasi dalam resirkulasi air.
3.5. Manajemen Operasional Budidaya
Kegiatan operasional pada budidaya tambak tersebut terdiri dari persiapan pengolahan tanah dasar, penebaran benih ke tambak pemeliharaan, pengelolaan dan pemberian pakan, pengawasan dan pengaturan terhadap kualitas air dan hama penyakit, dan pemanenan. Pemberian pakan untuk tambak sistem polikultur dilakukan 2 kali sehari. Pakan ini berupa pakan rucah dan pakan buatan. Untuk kontrol terhadap kualitas air dilakukan 2 kali selama satu minggu.
Pengaturan dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan kontrol terhadap limbah hasil budidaya. Limbah ini dikelola kembali untuk digunakan sebagai media pemeliharaan. Metode pengelolaan ini dengan cara memasukkan air buangan limbah ke dalam petak pengendapan. Saluran air dilengkapi dengan sekat berselang-seling untuk memperpanjang dan memperlambat aliran air agar lumpur dan kotoran mengendap. Selanjutnya masuk ke petak penyaringan (biofilter) agar bahan organik dan racun terlarut. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat mengendalikan kepadatan plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga berisi tanaman atau tumbuhan air (rumput laut) yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil perombakan bahan organik. Rumput laut yang digunakan berasal dari jenis E. Cotoni. Air hasil dari penyaringan ini dapat langsung digunakan untuk pemeliharaan kembali.
3.6. Manajemen Organisasi Kegiatan Budidaya
Untuk budidaya tambak berpola intensif, salah satu faktor penting untuk kelancaran kegiatan operasional ditentukan oleh struktur organisasinya. Kejelian dari pemimpin dibutuhkan untuk menempatkan orang-orang yang langsung dapat mengadaptasikan diri dengan jenis kegiatan operasional tambak. Penyusunan bentuk struktur organisasi perlu memperhatikan keahlian khusus tiap orang untuk dapat langsung ditempatkan pada bagian yang sesuai dengan pekerjaan baik teknis maupun non teknis. Pada kegiatan budidaya ini, setiap petakan tambak dibentuk satu tim kerja non teknis dengan beranggotakan ± 5 orang untuk bertanggungajawab terhadap kegiatan operasional tambak tersebut. Jika ada masalah dengan kegiatan operasional di lapangan, maka tim ini akan berkonsultasi dengan bagian teknisi untuk memecahkan masalah tersebut.
3.7. Manajemen Sumberdaya manusia
Untuk melaksanakan kegiatan operasional dengan baik, diperlukan adanya keterampilan dan keahlian dari manusianya (tenaga kerja). Teknisi tambak dalam organisasi adalah staf ahli (sarjana) perikanan yang terampil dan memiliki pengalaman memadai serta menguasai operasional tambak. Pengalaman kerja sangat membantu dalam mengatur, mengkoordinasi serta mengambil keputusan tentang jenis kegitan operasional secara teknis dan non teknis baik pekerjaan yang berat maupun ringan.
3.8. Pemasaran Hasil Budidaya
Hasil budidaya pada Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara didistribusikan ke distributor besar yang langsung datang ke Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) sendiri.
IV. ANALISA HASIL
4.1. Analisa Faktor Utama Pembudidayaan
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang terletak di ujung pantai kota Jepara memiliki lokasi yang strategis untuk digunakan sebagai lokasi pembudidayaan. Hal ini antara lain didukung oleh perairan laut Jepara yang tidak digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal. Sehingga tingkat pencemaran rendah karena tidak adanya sisa pembakaran bahan bakar kapal. Sumber air yang digunakan bisa dibilang layak untuk lokasi pembudidayaan karena tidak tercemar bahan kimia.
Teknologi yang digunakan merupakan teknologi pembudidayaan secara intensif. Teknologi ini menggunakan kincir air untuk menjaga suplai oksigen dalam tambak. Konstruksi pada tambak menggunakan beton sebagai dindingnya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kerusakan pada tambak oleh hama seperti kepiting. Selain itu, hal ini dimaksudkan karena substrat dasar tambak adalah berpasir.
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) membudidayakan kultivan yang bernilai ekonomis penting dan memiliki pasaran luas. Kultivan yang dibudidayakan adalah kultivan yang memiliki habitat air payau dan air laut, antara lain udang, rajungan, kerapu, abalone, rumput laut, kakap, dan pakan alami. Kultivan-kultivan ini selain untuk kegiatan penjualan, juga dimaksudkan untuk kegiatan penelitian bagi kemajuan dunia perikanan.
4.2. Analisa Aspek Manajemen
Aspek manajemen operasional budidaya di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara telah tertata dengan teratur. Hal ini dapat dilihat dengan adanya diversivikasi antara kegiatan produksi maupun kegiatan penelitian. Pada kegiatan produksi, sistem operasionalnya juga diatur sedemikian rupa mulai dari pemijahan, pembenihan, dan pembesaran. Hal ini dapat dilihat dengan pemisahan lokasi-lokasi yang digunakan untuk kegiatan tersebut berjarakterpisah. Jam kerja yang telah diatur sedemikian rupa memungkinkan para karyawan untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Pembagian kerja yang diterapkan juga memungkinkan diperolehnya hasil kerja yang optimal. Bagian administrasi hanya mengurusi tugasnya dalam hal administratif saja. Sedangkan bagian lapangan diserahkan pada karyawan yang bertugas di lapangan. Pembagian terdiri dari kepala bagian yang dibantu oleh para pekerja. Selain itu, juga terdapat pagawai laboratorium yang bertugas menganalisa hal-hal yang bersifat laboratoris.
Sumberdaya manusia yang dimiliki Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sangat beragam. Mayoritas diisi oleh para lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sehingga mampu menghasilkan kualitas kerja yang baik. Selain itu, inovasi maupun terobosan baru dari para karyawan sangat diharapkan untuk kemajuan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Dari segi pekerja lapangan, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) memiliki banyak pekerja yang memiliki banyak pengalaman di dunia perikanan karena telah menekuni dunia perikanan cukup lama.
4.3. Forecasting
Kedepannya, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara hendaknya lebih memperhatikan pengolahan tambak pasca panen untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak. Hal ini juga diharapkan untuk meningkatkan produksi budidaya mengingat sistem yang digunakan adalah sistem budidaya intensif. Sistem budidaya intensif merupakan sistem yang menurunkan kualitas lingkungan karena terus menerus dipakai untuk memacu hasil budidaya. Sehingga apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan suatu saat nanti akan mematikan kegiatan budidaya.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah keberadaan green belt berupa tanaman mangrove. Mengingat lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang berada di pinggir laut, maka akan sangat rawan terhadap abrasi pantai maupun serangan ombak. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, maka sangat diperlukan untuk penanaman mangrove di sekitar lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sehingga diharapkan terjaganya ekosistem di sekitar lokasi budidaya.
V. REKOMENDASI
5.1. Faktor yang Mempengaruhi Pembudidayaan
Secara garis besar, kegiatan akuakultur dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan produksi on farm dan kegiatan produksi off farm. Kegiatan produksi on farm antara lain meliputi pembenihan dan pembesaran, sedangkan kegiatan off farm antara lain meliputi pengadaan prasarana dan saran produksi, penanganan hasil panen, distribusi hasil dan pemasaran.
Pembenihan ikan adalah kegitan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan benih dan selanjutnyabenih yang dihasilkan menjadi komponen input bagi kegiatan pembesaran. Pembesaran ikan adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan ikan ukuran konsumsi.
Dalam kegiatan budidaya, ada beberapa aspek yang diperlukan antara lain adalah : pemilihan spesies, lokasi budidaya, kontruksi, skala budidaya, pasar, dan ukuran jual. Spesies yang menjadi pilihan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah didapat, mudah dibudidayakan, dapat diproduksi dalam unit budidaya, memiliki nilai ekonomis tinggi, relatif tahan terhadap penyakit, dan disukai masyarakat. Pemilihan spesies juga dipengaruhi oleh keberadaan stock. Faktor yang kedua adalah pemilihan lokasi budidaya. Langkah awal keberhasilan usaha budidaya adalah pemilihan lokasi, kontruksi, dan penentuan skala budidaya. Oleh karena itu lokasi yang ideal untuk usaha budidaya harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut :
Lokasi budidaya harus bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi air. Polusi yang terdapat pada tambak dapat berupa limbah rumah tangga, oleh karena itu rekomendasi yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar agar tidak membuang limbah rumah tangga ke saluran air yang digunakan untuk usaha budidaya.
Perbaikan saluran air agar dapat terjadi keseimbangan antara parameter air dengan tanah.
Apabila terjadi penyakit pada kultivan dalam wadah budidaya maka rekomendasi yang dilakukan agar terjadi kesinambungan hidup antara yang sehat dan yang mati karena terkena penyakit dengan cara mengambil kultivan yang telah mati, dan mengobati kultivan yang sakit dengan segera.
5.2. Manajemen Pembudidayaan
Penguasaan Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai keberhasilan produksi dalam mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara bwrkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastruktur, manajemen sumber daya manusia, manajemen produksi budidaya, dan manajemen pemasaran.
Manajemen infrastruktur
Manajemen infrastuktur adalah usaha yang dilakukan untuk perbaikan sarana dan prasarana budidaya. Manajemen infrastruktur terdiri dari :
a. Persiapan wadah
Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk mendapatkan lingkungan yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh maksimal. Persiapan wadah meliputi pengeringan dasar kolam, pengangkatan lumpur, perbaikan pematang dan pintu air, pengapuran, pemupukan, pengisian air, pemberantasan hama dan penyakit.
b. Penebaran benih
Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah dengan padat penebaran (stock density) tertentu. Benih berasal dari produksi pembenihan atau hasil tangkaan dari alam dengan kriteria : spesies definitif dan tidak bercampur dengan spesies lain, organ tubuh lengkap, ukuran seragam, respon terhadap gangguan, posisi tubuh di dalam air normal, menghadap dan melawan arus ketika diberi arus, berwarna cerah, dan tidak membawa penyakit.
Manajemen sumber daya manusia
Spesialisasi dalam pengolahan tambak sangat diperlukan agar pendeteksian terhadap hal-hal yang muncul, misalnya masuknya penyakit pada tubuh ikan dapat segera teratasi, termasuk di dalamnya yang mempunyai keahlian dalam bidang pemasaran.
BAB VI. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini mempelajari tentang penentuan lokasi budidaya, kualitas dari lahan budidaya, kualitas air, kultivan yang dibudidayakan serta tipe teknologi apa yang digunakan dalam budidaya.
2. Aplikasi teknologi yang digunakan dalam budidaya air payau yang ada di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah dengan memanfaatkan air laut sebagai sumber air untuk kegiatan budidaya. Penerapan sistem teknologi ini adalah dengan cara menyaring air laut yang telah ditampung di dalam bak tandon yang telah diisi pasir laut dan pecahan karang sebagai penyaring serta penambahan zat kimia untuk mensterilkan air laut. Setelah beberapa jam kemudian air tersebut baru bisa digunakan.
Saran yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih tertib ketika melakukan wawancara agar informasi yang didapat lebih jelas lagi.
2. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih aktif dalam memberikan pertanyaan agar data serta informasi yang didapat lebih banyak sehingga dengan begitu diharapkan tujuan dari praktikum ini tercapai.
Daftar Pustaka
Bezdicek, D.F., R.I. Papendick, and R. Lal. 1996. Introduction: Importance of Soil Quality to Health and Sustainable Land Management. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.). 1999. Methods for Assessing Soil Quality. Soil Science Society of America, Inc. Wisconsin. 1-8.
Buwono, Ibnu D. 1993. Tambak Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta.
Dugan, P.R. 1972. Biochemical Ecology of Water Pollution. Plenum Press. New York. 159 p.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Hutchinson, G.E. 1975. A Treatise on Limnology. John Wiley and Sons. New York. 942 p.
Kasri, A.1992. Budidaya Kepiting Bakau. PT. Bharata Niaga Media. Jakarta.
Miller, G.T. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company. California. 705 p.
Moss, B. 1993. Ecology of Freshwaters. Second edition. Blackwell Scientific Publications. London. 415 p.
Murtidjo, Bambang A. 1989. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.
Murtidjo, Bambang A. 1991. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.
Pecl, K. 1990. The Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223 p.
Rahmanto, S. dan Mudjiman, A. 1989. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya.
Ranoemihardjo, Bambang S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.
Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Gramedia. Jakarta.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Waters. Martinus Nijhoff/Dr.W.Junk. Publ, Dordrecht, The Netherlands. 497 p.
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.
Laporan Planktonologi 2009
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Plankton merupakan jasad renik yang umumnya terdiri dari organisme pelagik baik yang berasal dari binatang maupun tumbuhan. Umumnya mereka berukuran sangat kecil dan terapung/melayang di kolam air. Gerakan mereka biasanya selalu ditentukan oleh gerakan masa air itu sendiri (Davis, 1955).
Plankton mempunyai peranan penting dalam budidaya perairan, karena plankton adalah pakan alami ikan. Plankton juga merupakan produsen primer di perairan, baik perairan asin, tawar maupun payau. Karena ikan memakan plankton, saya sebagai mahasiswa perikanan budidaya, merasa perlu menggetahui plankton, karena plankton juga meyuburkan suatu perairan sebagai wadah budidaya.
Praktikum planktonologi ini dilakukan dengan tujuan agar para mahasiswa dapat mengetahui pengertian tentang plankton, klasifikasi plankton berdasarkan habitat dan ukurannya, serta parameter fisika yang berhubungan dengan plankton. Para mahasiswa juga diharapkan dapat mengetahui konsep dasar mengenai kondisi lingkungan yang mempengaruhi distribusi plankton
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum planktonologi adalah sebagai berikut :
1.2.1. Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam air laut.
a. Menerapkan teknik penetasan kista Artemia sp
b. Mengamati bentuk-bentuk awal perkembangan instar dan nauplius Artemia sp
c. Mempelajari fase-fase perkembangan dalam siklus hidup Artemia sp
1.2.2. Teknik Sampling Plankton
a. Mengenal dan mempelajari struktur komunitas plankton perairan umum (tawar, payau, asin, tambak, pollder, pemancingan umum, sungai tercemar – tergantung ketersediaan lokasi);
b. Menerapkan teknik pengambilan sampel plankton secara pasif di beberapa badan air (danau, muara, pesisir, sungai – tergantung ketersediaan lokasi);
c. Menerapkan teknik pengelolaan sampel plankton (pengambilan, pengawetan, penyimpanan di lapangan dan di laboratorium).
1.2.3. Struktur Komunitas Plankton
a. Mengamati dan mengidentifikasi sampel plankton yang diperoleh;
b. Menganalisa data yang di dapat dari hasil pengamatan untuk mempelajari; kaitan distribusi plankton dengan faktor-faktor lingkungan.
1.2.4. Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam Air Laut
a. Menerapkan teknik penetasan kista Artemia sp;
b. Mengamati bentuk-bentuk awal perkembangan instar dan nauplius Artemia sp;
c. Mempelajari fase-fase perkembangan dalam siklus hidup Artemia sp.
1.2.5. Pengamatan Microalgae dan Daphnia sp
a. Mengetahui sifat, bentuk dan morfologi beberapa jenis Fitoplankton dan Zooplankton.
1.3. Waktu dan Tempat
Pengambilan sample dilaksanakan pada hari Senin, 05 April 2010 pukul 16.00-17.30 WIB kolam pemancingan Sawah Besar, Kecamatan Gayam Sari, Semarang. Sedangkan Analisis laboratorium dilaksanakan pada hari senin - selasa, 12-13 April 2010 pukul 07.00 - 13.00 WIB di Laboratorium Ilmu – ilmu Perairan Fakultas Perikanan, Tembalang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sampling Plankton
2.1.1. Teknik Sampling Plankton
Metode sampling Plankton terbagi menjadi dua yaitu metode Kualitatif, yaitu dimaksudkan untuk mengetahui jenis–jenis plankton. Sedangkan metode Kuantitatif, yaitu untuk mengetahui kelimpahan plankton yang berkaitan dengan distribusi waktu dan tempat. (Omori dan Ikeda,1992)
Metoda pengambilan sampling terbagi menjadi dua yaitu Pengambilan Sampling secara Horizontal ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran plankton horizontal. Plankton net pada suatu titik di laut, ditarik kapal menuju ke titik lain.
Jumlah air tersaring diperoleh dari angka pada flowmeter atau dengan mengalikan jarak diantara dua titik tersebut dengan diameter plankton net.
Flowmeter untuk peningkatan ketelitian. Sampling secara Vertikal yaitu dengan meletakkan plankton net sampai ke dasar perairan, kemudian menariknya keatas. Kedalaman perairan sama dengan panjang tali yang terendam dalam air sebelum digunakan untuk menarik plankton net ke atas.
Volume air tersaring adalah kedalaman air dikalikan dengan diameter mulut plankton net. (Omori dan Ikeda,1992)
Jenis Peralatan Sampling Plankton:
Peralatan yang dapat digunakan dalam kegiatan sampling plankton adalah:
1. Sampling menggunakan tabung/botol air (Water bottle) (Omori dan Ikeda, 1992).
Sampling dilakukan dengan mengambil air laut pada kedalaman tertentu, menggunakan botol 100 ml. Sampling pada perairan di wilayah pantai dimana kelimpahan plankton tinggi. Sampling untuk plankton berukuran kecil ( fito atau nannoplankton ). Sampling mendapatkan air sampel 1 – 50 liter.
2. Sampling menggunakan Van Dorn/ Nansen Bottle Sampler (Omori dan Ikeda,1992).
Gambar 1. Tabung Van Dorn
Tabung Van Dorn atau Nansen Bottle Sampler terbuka diturunkan pada kedalaman tertentu. Tabung Van Dorn atau Nansen Bottle Sampler akan ditutup dengan meluncurkan ring atau besi pemberat sehingga bagian atas dan bawah akan tertutup.
3. Sampling menggunakan Pompa Hisap (Romimohtarto dan Juwana,1998)
Gambar 2. Pompa Hisap
Sampling dengan memompa air laut dari kedalaman tertentu. Ujung pompa hisap diturunkan sampai dengan kedalaman tujuan. Air sampel ditampung dan disaring. Keuntungannya volume dan kedalaman dapat ditentukan. Kekurangannya volume air dibatasi oleh diameter pipa penghisap. Tidak semua plankton dapat terhisap sesuai tujuan.
4. Sampling menggunakan Plankton Net (Omori dan Ikeda,1992;Romimohtarto & Juwana, 1998)
Plankton Net untuk phytoplankton berukuran diameter 31 cm dengan mata jaring berukuran 30 – 60 mikron.Plankton Net untuk zooplankton berukuran diameter 45 cm dengan mata jaring berukuran 150 – 500 mikron. Plankton Net untuk ikhtyoplankton berukuran diamater 55 cm.
2.1.2. Teknik identifikasi plankton
Identifikasi dilakukan dengan bantuan mikroskop perbesaran 100x, dengan melakukan pengulangan 3x dengan 10 lapang pandang yang berbeda. Pertama pengamatan sample plankton, setelah itu pengidentifikasian plankton yang diamati dengan menggunakan buku kunci identifikasi plankton. Peralatan yang digunakan dalam perhitungan sampel adalah Sedgwick-Rafter, dimana pengamatan dengan alat ini ditujukan bagi Mikrozooplankton dan Fitoplankton dengan menggunakan mikroskop binokuler perbesaran 100 x ( Omori dan Ikeda, 1992 ).
2.2. Parameter Fisika
2.2.1. Kecerahan
Kecerahan air merupakan bentuk pencerminan daya tembus atau intensitas cahaya matahari yang masuk dalam perairan. Sedangkan kekeruhan air merupakan suatu ukuran bias cahaya dalam air yang menunjukkan derajat kegelapan di dalam suatu perairan yang disebabkan adanya partikel hidup maupun mati yang dapat mengurangi transmisi cahaya (Romimohtarto, 1984).
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air (Effendi, 2003).
Sifat bahan-bahan penyebab kekeruhan mempengaruhi warna perairan, sedangkan konsentrasinya mempengaruhi kecerahan air. Kekeruhan yang disebabkan tanah lempung merupakan salah satu pembatas pertumbuhan fitoplankton dan zooplankton. Tetapi apabila kekeruhan disebabkan plankton, maka pengukuran kecerahan merupakan indeks untuk menentukan besarnya produktivitas primer (Odum, 1981).
2.2.2. Kedalaman
Kedalaman adalah parameter fisika yang mendasar dan berpengaruh pada aspek lainnya seperti kecerahan, suhu, dan kelarutan oksigen. Kedalaman dalam suatu ekosistem perairan dapat bervariasi dari suatu tempat ke tempat yang lain (Erick, 2008).
Fitoplankton dalam melakukan fotosintesis membutuhkan cahaya matahari. Penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat dengan makin tingginya kedalaman. Ini sebabnya fitoplankton sebagai produsen primer hanya didapat pada daerah atau kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus pada perairan (Hutabarat dan Evans, 1985).
Kedalaman perairan dalam proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam air kolam tinggal 1% dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendi, 2003).
2.2.3. Suhu
Suhu perairan merupakan satu faktor yang sangat berperan dalam kehidupan dan pertumbuhan suatu organisme. Suhu air mempunyai peranan yang penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air serta proses metabolisme ekosistem perairan. Sehingga suhu air bukan saja merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat kimia perairan, tetapi juga secara fisiologis bahwa secara umum kisaran suhu yang optimal bagi suhu yang luas disebut Eurythermal. Sedangkan yang hidup pada kisaran suhu yang sempit disebut Stenothermal. Plankton dapat berkembang dengan baik bila suhunya berkisar antara 25 – 32 ºC (Sachlan, 1982).
Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis. Kenaikan suhu perairan akan melibatkan kenaikan aktifitas biologi sehingga memerlukan lebih banyak oksigen dalam perairan tersebut. Air akan menurunkan tingkat salubility oksigen dengan demikian menurunkan kemampuan organisme akuatik dalam memanfaatkan oksigen yang tersedia untuk kelangsungan proses biologi dalam air (Asdak, 1995).
2.2.4. Salinitas
Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah garam yang terlarut dalam suatu volume air dalam 0/00 (permil) dan didefinisikan sebagai jumlah zat garam yang terlarut dalam 1 kg air dengan anggapan seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida serta semua bromida dan iodide diganti menjadi karbon dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna (Hutabarat dan Evans, 1986).
Salinitas sangat penting karena mempengaruhi proses osmoregulasi pada sebagian besar organisme payau. Plankton pada salinitas 20 permil ke atas mirip dengan plankton laut, sedangkan yang hidup pada salinitas 0 – 10 permil mirip plankton yang ada di air tawar (Sachlan 1982).
2.2.5. Arus
Arus merupakan gerakan angin yang sangat luas yang terjadi pada suatu perairan. Arus ini mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan pergerakan dan distribusi plankton pada suatu perairan. Pergerakan (migrasi) plankton terjadi secara vertikal pada beberapa lapisan perairan, tetapi kekuatan renangnya sangat kecil jika dibandingkan dengan kekuatan arus pada perairan tersebut (Hutabarat dan Evans, 2000).
2.3. Struktur Komunitas
2.3.1. Kelimpahan Plankton
Secara umum keberadan plankton di perairan akan dipengaruhi oleh tipe perairannya (mengalir atau tenang), kualitas fisika dan kimia perairan, kandungan unsur hara dan adanya competitor dan atau pemangsa plankton. Pada perairan tergenang keberadaan plankton akan berbeda dan waktu ke waktu dan berbeda pula dalam menempati ruang dan kolom air. Sedangkan pada perairan mengalir, unsur ke waktu dan ruang relative tidak berpengaruh, kecuali jika ada kasus – kasus pencemaran sungai oleh aktivitas manusia.
Kelimpahan plankton dihitung dengan melakukan penyaringan dengan plankton net kemudian hasil penyaringan yang tertinggal didalam botol plankton net diamati di bawah mikroskop(Kaswadji, 1976).
2.3.2. Indeks Keanekaragaman Spesies
Indeks keanekaragaman atau “Diversity Index” diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik yang melukiskan struktur informasi-informasi mengenai jumlah spesies suatu organisme. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisis informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman yaitu dengan menentukan persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies. Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan(Kaswadji, 1976).
2.3.3. Indeks Keseragaman Spesies
Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 – 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, maka populasi menunjukkan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Pasengo, 1995).
2.3.4. Indeks Dominasi
Dominansi jenis zooplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (d). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1971).
2.4. Kultur Artemia
2.4.1. Siklus hidup artemia
Siklus hidup Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-20 jam pada suhu 25 derajat celcius kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan tetap menyelesaikan perkembanganya kemudian berubah menjadi naupli yang akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli aka berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organic lainya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak memilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia dalam air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu. 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 cm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. pada kondisi demikian biomasnya akan mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli (Diana Chilmawati, 2007).
Kista Artemia sp yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Larva Artemia yang baru menetas dikenal dengan nauplius. Nauplius dalam pertumbuhanya mengalami 15 kali perubahan bentuk. Masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Diana Chilmawati, 2007).
Pertama kali menetas larva Artemia sp disebut Instar I. Nauplius stadia I (instar I) ukuran 400 mikron. Lebar 170 mikron dan berat 15 mikrogram, berwarna orange kecoklatan. Setelah 24 jam menetas, naupli akan berubah menjadi instar II. Gnatobasen sudah berbulu, bermulut, terdapat saluran pencernaan dan dubur. Tingkatan selanjutnya, pada kanan dan kiri mata nauplius terbentuksepasang mata majemuk. Bagian samping badanya mulai tumbuh tunas-tunas kaki, setelah instar XV kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang. Nauplius menjadi Artemia dewasa (proses instar I-XV) antara 1-3 minggu (Diana Chilmawati, 2007).
Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius mengalami moulting. Artemia dewasa memiliki panjang 8-10 mm ditandai dengan terlihat jelas tangkai mata pada kedua sisi bagian kepala, antena berfungsi untuk sensori. Pada jenis jantan antenna berubah manjadi alat penjepit (muscular grasper). Sepasang penis terdapat pada bagian belakang tubuh. Pada jenisbetina antenna mengalami penyusutan (Diana Chilmawati, 2007).
2.4.2. Kultur Artemia
Gambar 3. Siklus Hidup Artemia sp
Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, betina Artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungnya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakan sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam. Artemia dewasa toleran terhadap selang -18 derajat hingga 40 derajat.. sedangkan temperature optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25-30oC. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30-35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar tetapi mudah mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi perumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan artemia. Artemia dengan supply oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae.pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dah beranak-pinak dengan cepat. Sehingga supply Artemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organic, atau apabila salinitas meningkat, artemia akan memakan bacteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista. ( Anonymous, 2008 ).
Syarat melakukan kultur massal Artemia secara terkendali berdasarkan metode yang berkembang adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Metode Kultur Artemia Massal
1. Bak Pemeliharaan dan Perlengkapan
Kultur Artemia dapat dilakukan pada bak-bak yang terbuat dari tembok , bak kayu berlapis plastik maupun bak dari fiberglass. Kapasitas bak tersebut minimal 1 ton air. Pada usaha pembenihan udang, kultur Artemia ini dapat dilakukan pada bak-bak untuk pemeliharaan larva udang. Bak kultur tersebut harus dilengkapi dengan peralatan aerasi dan jika memungkinkan dilengkapi dengan air lift untuk membuat sistem air berputar.
2. Makanan
Karena cara makan Artemia adalah dengan menyaring (Filter feeder), maka diperlukan makanan dengan ukuran partikel khusus, yaitu lebih kecil dari 60 mikron. Makanan yang diberikan dapat berupa makanan buatan maupun makanan hidup atau plankton. Makanan buatan yang memberikan hasil cukup baik dan mudah didapat adalah dedak halus. Cara pemberiannya harus disaring terlebih dahulu dengan saringan 60 mikron. Sedangkan plankton yang dapat digunakan sebagai makanan Artemia adalah jenis plankton yang juga digunakan sebagai makanan larva udang, seperti Tetraselmis sp, Chaetoceros sp, Skeletonema sp. Oleh karena itu kultur Artemia dengan plankton sebagai makanan alami lebih mudah dilakukan dalam suatu unit usaha pembenihan udang.
3. Prosedur Pemeliharaan
Untuk mendapatkan biomassa Artemia, nauplius Artemia dikultur dalam beberapa hari. Lama pemeliharaan tergantung pada ukuran Artemia yang dikehendaki. Jika Artemia digunakan sebagai makanan juvenil udang, maka lama pemeliharaan sekitar 7 hari, sedangkan jika digunakan sebagai makanan udang dewasa maupun untuk diproses sebagai bahan baku makanan buatan, maka lama pemeliharaan sekurang-kurangnya 15 hari. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengkultur Artemia adalah sebagai berikut :
Tetaskan cyst Artemia untuk menghasilkan nauplius. Jumlah cyst yang ditetaskan 10 - 15 gram untuk 1 ton air dengan perhitungan efisiensi penetasannya adalah 200.000 nauplius/gram cyst. Isi bak dengan air bersalinitas antara 20 - 35 permil yang disaring terlebih dahulu. Tebarkan nauplius Artemia yang baru menetas dan aerasi medium pemeliharaan. Berikan makanan (dedak halus atau plankton) jumlahnya ditentukan berdasarkan kecerahan air medium pemeliharaan. Pemberian makanan ini dilakukan sampai kecerahan air antara 15 – 20 cm dan dipertahankan terns selama masa pemeliharaan. Untuk mengukur kecerahan air medium pemeliharaan dapat digunakan "tingkat kecerahan" yang berskala (dalam centimeter). Selama pemeliharaan, amati perkembangan Artemia, yaitu pertumbuhan dan perkiraan yang masih hidup. Setelah lama pemeliharaan tertentu, 7 sampai 15 hari, dapat dilakukan pemanenan biomassa Artemia. Caranya adalah matikan aerasi dan biarkan sekitar 15 menit. Artemia akan muncul di permukaan dan selanjutnya dipanen dengan menggunakan seser, lalu dicuci. Biomassa Artemia dapat langsung diberikan kepada udang yang disesuaikan dengan ukurannya atau disimpan dalam bentuk segar (dalam freezer) maupun dikeringkan untuk dibuat tepung Artemia (Diana Chilmawati).
2.5. Mikroalga
Mikroalgae diklasifikasikan sebagai tumbuhan karena mengandung chlorophyl dan mempunyai suatu jaringan sel menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar penyelidikan akhir-akhir ini klasifikasi pada semua jenis sel tunggal dari organisme eukaryotik dan multi sel algae (termasuk mikroalgae) masuk dalam Kingdom Pratista. Melalui pendekatan suatu skema klasifikasi, species mikroalgae didefinisikan dari kesamaan morfologi dan biokimia. Beberapa genus mempunyai spesies yang hampir sama atau karakteristik strainnya yang digunakan didalam kegiatan budidaya pakan alami. Kesulitan-kesulitan lain dalam indentifikasi mikroalgae ini yaitu beberapa strain tidak dapat dibedakan dengan melihat dibawah pencahayaan mikroskop dan teknik biokimia. Namun demikian secara umum dengan menggunakan pencahayaan mikroskop, mengelompokan didalam group taksonomi secara ciri-ciri makro dan suatu detail deskripsi dan hasil foto morfologi dari sel algae yang penting dengan organisme-organisme lainnya dapat dilakukan identifikasi jenis/ species mikroalgae yang kita butuhkan untuk tujuan budidaya pakan alami (Diana Chilmawati).
Skeletonema merupakan organisme yang membentuk rantai dengan sel yang berbentuk membulat yang dihubungkan oleh untaian silika panjang satu dengan lainnya. Sel individu berukuran lebar 6-10 mm dan panjang 20-25 mm dengan cakupan filamen mencapai panjang 500 mm berisi sekitar 15-20 sel. Organisme ini ditemukan juga di perairan muara pada salinitas 10 ppt dan merupakan genus plankton yang umum serta digunakan sebagai pakan dalam budidaya (Diana Chilmawati).
Chaetoceros merupakan Organisme sel tunggal dan dapat membentuk rantai menggunakan duri yang saling berhubungan dari sel yang berdekatan. Tubuh utama berbentuk seperti petri dish. Jika dilihat dari samping organisme ini berbentuk persegi dengan panjang 12-14 mm dan lebar 15-17 mm, dengan duri yang menonjol dari bagian pojok. Selnya dapat membentuk rantai sebanyak 10-20 sel dan mencapai panjang 200 mm. Populer sebagai pakan rotifer, kerang-kerangan, tiram, dan larva udang (Diana Chilmawati).
Tetraselmis merupakan orgaisme hijau motil, lebar 9-10 mm, panjang 12-14 mm, dengan empat flagel yang tumbuh dari sebuah alur pada bagian belakang anterior sel. Sel-selnya bergerak dengan cepat di air dan tampak bergoncang pada saat berenang. Ada empat cuping yang memanjang dan memiliki sebuah titik mata yang kemerah-merahan. Pyramimonas adalah organisme yang berkaitan dekat dengan alga hijau dan memiliki penampakan serta sifat berenang yang identik dengan tetraselmis. Kedua organisme ini adalah sumber makan yang populer untuk mengkultur rotifer, kerang, dan larva udang (Diana Chilmawati).
Spirulina filamennya berukuran lebar 5 -6 mm dan panjang 20-200 mm berbentuk spiral. Dapat berwarna biru-hijau atau merah. Spirulina merupakan bahan penyusun dalam banyak pellet ikan dan pakan invertebrate (Diana Chilmawati).
Porphyridium merupakan organisme uniseluler berbentuk bola dengan diameter 7-12 mm. Diklasifikasikan sebagai salah satu spesies alga merah yang sederhana karena organisme ini tidak bereproduksi secara seksual dan memiliki glikogen sebagai penyusun tempat penyimpanan. Alga ini digunakan pada lingkungan budi daya untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat (Diana Chilmawati).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam Praktikum Plaktonologi disajikan dalam tabel 1 seperti di bawah ini:
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam Teknik Sampling Plankton
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Botol Plastik/gelas 20 ml - Untuk tempat penyimpanan sample plankton
2 Ember 20L - Mengambil air dari kolam
3 Gayung - Mengambil air dari kolam
4 Plankton net - Menyaring plankton
5 Kertas label - Memberi tanda pada sampel
6 Termometer Air Raksa 10c Mengukur suhu air dan udara
7 Salinometer 1‰ Mengukur salinitas air
8 Secchi disc 1 cm Mengukur kedalaman air dan kecerahan air
9 Bola Arus - Mengukur kecepatan arus
10 Stopwacth 0.01 s Mencatat waktu
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam Teknik Sampling Plankton
No Bahan Ketelitian Kegunaan
1 Sampel awetan plankton - Untuk Pengamatan
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam Struktur Komunitas Plankton
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Mikroskop - Untuk mengamati plankton
2 Buku identifikasi plankton - Untuk mengidentifikasi plankton
3 Sadgwick Raffter - Untuk menghitung plankton
4 Gelas Penutup - Untuk menutup sadgwick Rafter
Tabel 4. Alat yang digunakan dalam Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam air laut
No. Alat Ketelitian Kegunaan
1. Sedwigck –Raffter - Menghitung plankton
2. Mikroskop - Untuk pengamatan
3. Termometer air raksa 1oc Mengukur suhu air dan udara
4. Refraktometer Mengukur salinitas air
5. Gelas Ukur 100 ml Mengencerkan plankton
6. Labu ukur 1000ml - Mengukur banyaknya air
7. Kantong plastic hitam - Untuk tempat sampah
8. Object glass - Untuk menutup cover glass
9. Tali raffia - Untuk mengukur kedalaman air
10. Botol plastik jernih - Untuk tempat plankton
11. Aerator, selang plastic & batu air - Untuk membuat gelembung
12. Timbangan 1 digit - Untuk menimbang garam dan kista kering
13. Pipet tetes panjang - Untuk memindahkan larutan
14. Lampu duduk 60 watt - Penerang
15. Lap/majun katun - Alat pembersih
Tabel 5. Bahan yang digunakan dalam Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam air laut
No Bahan Ketelitian Kegunaan
1 Air Laut - Media penetasan
2 Aquades - Penghidrasi Artemia sp
3 Kista kering Artemia - Penetasan Artemia sp
4 Alkohol 70% - Untuk melumpuhkan plankton
Tabel 6. Alat yang digunakan dalam pengamatan Microalgae
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Mikroskop - Untuk mengamati plankton
2 Slide glass -
3 Pipet tetes -
Tabel 7. Bahan yang digunakan dalam pengamatan Microalgae
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Fitoplankton - Untuk Pengamatan
2 Zooplankton - Untuk Pengamatan
3.2. Metode
3.2.1 Sampling Plankton
1. Menyaring air dengan volume 100 L ke dalam plankton net
2. Memberi formalin dan label pada sampel yang diperoleh
Pengambilan sample :
1. Lokasi pengambilan sample dipelajari, misalnya jarak dari tepi badan air, harus dapat dicapai pada segala musim sepanjang tahun, kondisi pasang surut saat pengambilan sample.
2. Titik-titik pengambilan sample harus ditentukan pada lokasi.
3. Bila pengambil sample masuk kedalam air, diusahakan bergerak perlahan dan setelah sampai dilokasi, berdiam diri sejenak menunggu air jernih kembali.
4. Jaring dan botol penampung sample dipegang didalam air. Air permukaan ditimba dengan ember (10-20 l) minimum 100 l dan dituangkan secara hati-hati kejaring plankton, diusahakan seluruh volume air tersebut masuk dan tersaring dengan baik.
5. Botol penampung dilepaskan dari palankton net, sample dituangkan dengan hati-hati kedalam botol sample, kemudian diberi formalin 40% 2-3 tetes, lalu botol ditutup rapat-rapat dan diberi label (nomor kode lokasi, hari-tanggal, jam, nama pengambil sample).
6. Botol sample ditaruh dalam wadah yang kuat dan terlindung cahaya, semua kejadian pengambilan sample dicatat di log book.
a. Pengukuran parameter fisika
1. Temperature air dan udara diukur dengan menggunakan thermometer air raksa.
2. Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer yang telah dikalibrasi.
3. Cuaca diamati secara kualitatif, berawan, hujan, cerag, dan sebagainya.
4. Kedalaman badan air diukur dengan menggunakan secchi disc.
5. Kecerahan badan air diukur dengan menggunakan secchi disc.
6. Segmen badan air bebas ditentukan yang cukup luasnya dan bersih dari obstruksi, kecepatan arus permukaan perairan diukur dengan menggunakan bola arus dan stopwatch.
b. Identifikasi plankton
1. Pengamatan sample plankton dibawah mikroskop perbesaran 100x, dengan pengulangan 3x pada 10 lapang yang berbeda
2. Pengidentifikasian plankton yang diamati dengan menggunakan buku kunci identifikasi plankton.
3.2.2. Kultur Artemia Dalam Air Laut
1. Beberapa butir kista Artemia diambil, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran terendah (10x10), bentuk dan warna kista Artemia tersebut digambar dan dideskripsikan.
2. Kista kering Artemia ditimbang 0,1 gr menggunakan timbangan elektrik dengan wadah dari kertas almunium foil (5x5 cm) yang dilipat dan dibentuk menjadi kotak bujur sangkar.
3. 100 ml aquades dituangkan dalam gelas beaker 200 ml.
4. Agar proses hidrasi kista terjadi lebih cepat, kista tersebut dimasukkan kedalam 100 ml aquades selama 60 menit dan ditaruh pada suhu kamar.
5. Sample kista yang telah dihidrasi diambil dengan menggunakan pipet, kemudian diamati dibawah mikroskop, bentuk dan warna kista Artemia setelah proses hidrasi digambar dan dideskripsikan.
6. Setelah 60 menit kista disaring, kemudian bagian bawah saringan disemprot perlahan-lahan dengan 100 ml air laut yang dijatuhkan kedalam gelas beaker 200 ml. kemudian diberi label lengkap (grup praktikum, jenis media, jam dan tanggal).
7. Waktu (tanggal, hari, jam, dan menit) dicatat ketika memasukkan kista kedalam 200 ml air dalam botol plastik.
8. Ditunggu sekitar 3-5 menit sampai banyak kista (90%) mengendap.
9. Kuat aerasi diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada kista yang mengendap didasar maupun melekat didinding botol plastik.
10. Lampu neon dinyalakan untuk penghangat dan penerangan pada malam hari.
11. Debit dipastikan konstan dan lampu menyala.
3.2.3. Hatching Rate Artemia
1. 1 ml biakan artemia diambil dengan menggerakkan pipet, kemudian dimasukkan kedalam bilik hitung sedgewick-rafter, lalu diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x10. Setelah cukup mengamati gerakan instar, biakan Artemia diberi beberapa tetes alkohol 70% dan ditutup dengan gelas penutup, lalu diamati morfologi instar atau mysis.
2. Warna dan bentuk telur yang tidak menetas diamati, serta fase penetasan telur maupun karakteristik instar, kemudian digambar masing-masing secara tematik dengan diberi keterangan morfologi yang jelas.
3. Persentase kista yang menetas dan tidak menetas dihitung dalam bilik hitung sedgewick-rafter.
4. Data dimasukkan kedalam rumus:
HRm = x 100%
HRttm = x 100%
3.2.4. Pengamatan Mikroalga
1. Sample fitoplankton diambil dari biakan kultur alga dengan menggunakan pipet steril, diteteskan keatas slide glass.
2. Sample diamati dibawah mikroskop mulai perbesaran 10x10.
3. Pergerakan (motil/non motil) diamati kemudian warna dan bentuk fitoplankton yang diambil digambar secara detil dan diberi keterangan selengkap-lengkapnya.
4. Pengamatan diulangi terhadap semua sample yang ada.
IV. HASIL dan PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Sampling Plankton
4.1.1.1. kelimpahan
Tabel Kelimpahan plankton yang didapat tersaji pada tabel 8 di awah ini.
Tabel 8. Kelimpahan Plankton Titik Sampling 1
No Spesies Ulangan
ni Pi ln pi -Pi .ln pi
1 2 3
1 Eudorinn wallichi 21 12 0 11 1401,29 0,560 -0,579 0,324
2 Trinithin sp 2 0 0 0,66 84,077 0,034 -3,381 0,115
3 Gonntoaygon sp 1 1 0 0,66 84,077 0,034 -3,381 0,115
4 Anabacna sp 1 1 1 1 127,39 0,051 -2,976 0,152
5 Anabanapsis anciborskii 0 2 1 1 127,39 0,051 -2,976 0,152
6 Wicrucy stuoniruginosn 5 3 0 2,66 338,857 0,135 -2,00 0,27
7 Calcanus sp 0 0 1 0,33 42,038 0,017 -4,07 0,069
8 Brincchionus pala 0 0 1 0,33 42,038 0,017 -4,07 0,069
9 Tinntinopsis sp 2 0 0 0,66 84,077 0,034 -3,381 0,115
10
11 Coamarriuumm sp
Pinnularia sp 0
0 0
0 2
2 0,66
0,66 84,077
84,077 0,034
0,034 -3,381
-3,381 0,115
0,115
∑N=2499,3 ∑=1,63
Tabel 9. Kelimpahan Plankton pada Titik Sampling II
No Spesies Ulangan
ni pi ln pi -Pi .ln pi
1 2 3
1 Eudorinn wallichi 7 0 0 2,33 296,82 0,097 -2,333 0,226
2 Chlorella sp 19 15 19 17,66 2249,70 0,736 -0,306 0,225
3 Spirulina sp 1 1 0 0,66 84,077 0,027 -3,612 0,097
4 Nitasclin clustrraria 0 1 0 0,33 42,038 0,014 -4,268 0,059
5 Trinithin branchio 0 2 0 0,66 84,077 0,027 -3,612 0,097
6 Brnchonus sp 0 0 2 0,66 84,077 0,027 -3,612 0,097
7 Fodocyatio sp 0 0 1 0,33 42,038 0,014 -4,268 0,059
8 Stuoniruginosn sp 0 0 3 1 127,39 0,042 -3,170 0,133
9 Pinnularia sp 0 0 1 0,33 42,038 0,014 -0,059 0,059
∑=3052,6 ∑=1,052
Tabel 10. Kelimpahan Plankton Titik Sampling 3
No Spesies Ulangan
ni pi ln pi -Pi .ln pi
1 2 3
1 Anabanapsis anciborskii 1 0 1 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
2 Brnchionus sp 2 2 0 1,33 169,43 0,250 -1,386 0,346
3 Wicrorystuonirugionsn sp 2 2 0 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
4 Chlorella sp 3 0 0 1 127,39 0,188 -1,671 0,314
5 Nitzsclin clustrrarium 0 2 0 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
6 Gonntoay gonnotuenium 0 0 1 0,33 42,038 0,062 -2,780 0,172
7 Pinnularia sp 0 0 2 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
∑=675,16 ∑=1,868
4.1.1.2.indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman spesies untuk titik sampling I, titik sampling II dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 11 di bawah ini:
Tabel 11. Indeks Keanekaragaman Spesies Titik I, Titik II dan Titik III
No. Titik sampling (- Pi LnPi) H’
1 I 1,63 1,63
2 II 1,868 1,868
3 III 1,052 1,052
4.1.1.3. indeks Keseragaman
Indeks keseragaman spesies untuk titik sampling I, titik sampling II dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 7 di bawah ini :
Tabel 12. Indeks Keseragaman Spesies Titik I, Titik II dan Titik III
No. Titik sampling H’ Hmax E
1 I 1,63 1,09 0,944
2 II 1,868 1,09 0,0171
3 III 1,052 1,09 0,965
4.1.1.4. indeks Dominasi
Indeks dominasi spesies untuk titik sampling I, titik sampling II dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 8 di bawah ini :
Tabel 13. Indeks Dominasi Titik I, Titik II dan Titik III
No. Titik sampling (ni/N)2 D
1 I 0,3498 0,3498
2 II 0,1618 0,1618
3 III 0,558 0,558
4.1.2. Parameter Fisika
Parameter fisika untuk titik sampling I, titik sampling III dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 9 di bawah ini :
Tabel 14. Parameter Fisika Titik I, Titik III dan Titik III
No Titik Parameter Fisika
Kedalaman (cm) Kecerahan(cm) Kec.arus
(m/s) Suhu°C Salinitas (‰) Cuaca
air udara
1. I 153 cm 36 cm 0 m/s 32°C 33°C 0 cerah
2. II 152 cm 38,5 cm 0 m/s 32°C 33°C 0 cerah
3. III 125 cm 56 cm 0 m/s 32°C 33°C 0 cerah
4.1.3. Kultur Artemia sp
4.1.3.1. hatching Rate Menetas
Hatching Rate Artemia menetas dalam praktikum planktonologi adalah:
Tabel 15. Hatching Rate Artemia sp yang menetas
Media Salinitas Jumlah HRm Kista Umur
Mulai Pengamatan
Air Laut 35 ppt 124 61,69 % 9 april 15 april 6
4.1.3.2. hatching Rate Tidak Menetas
Hatching Rate Artemia tidak menetas dalam praktikum planktonologi ini
sebagai berikut:
Tabel 16. Tabel Hatching Rate Artemia sp yang tidak menetas
Media Salinitas Jumlah HRtm Kista Umur
Mulai Pengamatan
Air Laut 35 ppt 77 38,30 % 9 april 13 april 6
4.1.4 pengamatan Mikroalga
Pengamatan Mikroalga dalam praktikum planktonologi menghasilkan:
Tabel 17. Pengamatan Miroalga
NO NAMA GAMBAR KETERANGAN
1 Tetraselmis chuii
1. Bentuk seperti pita spiral Panjang berkelok-kelok
2. Berwarna hijau
2 Spirulina sp
1.Bentuk bulat lonjong
2. Berwarna hijau muda
3 Skeletonema costatum 1. Bentuk bulat
2. Berwarna merah
4 Chaeoceros sp 1. Bentuk memanjang dengan flagel
2. berwarna hijau
5 Phorpyridium sp
1. Bentuk kotak-kotak panjang berkoloni
2. Berwarna hijau
4.2. Pembahasan
4.2.1. Deskripsi Lokasi Sampling
Tempat yang kami gunakan sebagai tempat pengambilan sampling adalah berupa kolam pemancingan, dimana dalam kolam ini kultivan yang dibudidayakan adalah Ikan Patin, mas, mujair. Ukuran kolam pemancingan ini 60X50 m² dengan kedalaman bervariasi dari 125 – 153 cm. kolam pemancingan ikan ini beralamatkan Sawah Besar, Kecamatan gayam Sari pada tanggal 5 April 2010.
4.2.2. Parameter Fisika
4.2.2.1. suhu
Suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air, serta metabolisme ekosistem perairan. Temperature air secara langsung maupun tidak langsung berkaitan erat dengan fenomena limnologist yang terjadi pada setiap level kedalaman perairan dengan demikian temperature air bukan saja merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisika-kimia air lainya, tetapi juga sifat fisiologis organisme yang hidup dalam media air tersebut. Oleh karena itu, pengukuran temperature pada setiap kedalaman sangat perlu guna mengetahui karateristik limno-biologis pada suatu perairan. (Soedarsono, 1990)
Dari hasil sampling kelompok kami di kolam pemancingan sawah besar, Kecamatan GayamSari, Semarang. Menunjukan suhu air di ketiga titik sama yaitu 32ºC. Sedangkan suhu udara di ketiga titik yaitu 33ºC. Hal ini menandakan bahwa lokasi sampling yang diteliti mempunyai suhu rata-rata yang baik untuk biota perairan di daerah tropis. Plankton memerlukan suhu yang mendukung untuk dapat memperbanyak spesiesnya, seperti makhluk hidup lainnya yang membutuhkan suhu udara yang sesuai dengan hidupnya, karena apabila pada tempat hidup plankton tersebut tidak didukung dengan suhu yang cocok, maka plankton tersebut dapat mati atau mengalami pengurangan.
4.2.2.2. salinitas
Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah garam yang terlarut dalam suatu volume air dinyatakan dalam o/oo (permil) dan di definisikan debagai jumlah zat garam yang terlarut dalam 1 kg air dengan anggapan seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida serta semua bromide dan iodide diganti menjadi karbon dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna. ??
Salinitas sangat penting karena mempengaruhi proses osmoregulasi pada sebagian besar organism, pada sampling didapatkan salinitas sebesar 0 ppt, karena kelompok kami melakukan sampling dikolam pemancingan air tawar.
4.2.2.3. kecerahan
Kecerahan merupakan gambaran kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya atau intensitas cahaya matahari. Kecerahan juga merupakan nilai kuantitas dari kekeruhan perairan. Interaksi antara kekeruhan dengan faktor kedalaman akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga produktivitas plankton akan menurun. Kecerahan pada sampling didapat bahwa titik pertama 36, kedua 19, dan titik ketiga adalah 23.
4.2.2.4. kedalaman
Kedalaman air memberi petunjuk limnologist suatu habitat akuatik tertentu dan akan berpengaruh terhadap penetrasi sinar matahari, dengan semakin besar kedalaman, maka semakin kecil intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan karena sinar yang masuk akan mengalami penyerapan dan penyebaran. Pada hasil sampling didapat kedalaman titik satu adalah 153cm, titik ke dua 152 cm dan titik ke tiga 125cm.
4.2.2.5. kecepatan Arus
Mengenai arus air di suatu daerah untuk lokasi pesisir sangat penting. Karena arus air berhubungan dengan pergantian air. Arus air yang terlalu kuat dapat menimbulkan kerusakan dan mengakibatkan pendangkalan karena adanya erosi dan sedimentasi. Akibat dari semua itu dapat menyebabkan pengaturan air menjadi tidak efektif. Untuk memperkecil kerugian yang ditimbulkan oleh arus air kita perlu mempelajari pola perubahan angin dan arus air yang terjadi sepanjang tahun di daerah tersebut. Dari hasil praktikum didapat pada titik sampel 1, 2 dan 3 tidak terdapat arus atau arusanya 0, karena pada kolam pemancingan tidak terdapat inlet dan outlet.
4.2.3. Struktur Komunitas
Kelimpahan dari praktikum planktonologi diperoleh bahwa jumlah kelimpahan plankton pada titik sampling I adalah3,49 sedangkan pada titik sampling II adalah 2,05 dan pada titik sampling III adalah 0,65 Jumlah plankton yang diperoleh dalam titik sampling I memiliki jumlah terbanyak dibandingkan pada titik II dan III.
Berarti perairan kawasan kolam pemancingan termasuk termasuk dalam tipe subur yaitu mesopelagic. Dan merupakan tempat yang baik bila di gunakan sebagai tempat budidaya ikan, karena kelimpahan akan pakan alami berupa plankton.
4.2.4. Kultur Artemia
Bentuk Artemia yang menetas mirip dengan kecebong, bila telur Artemia tidak menetas berbentuk bulat hitam. Pergerakan Artemia aktifdan bersifat fototaksis positif. Telur Artemia atau cyste berbentuk bulat bnerlekuk dalm keadaan kering dan bulat penuh dalm keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tewbal dan kuat (Cholik dan Daulay,1985)
Pada pengamatan Artemia sp saat praktikum, kami dapatkan bahwa Artemia sp yang masih berupa kista kerig berwarna kecoklatan dan bentuknya bulat agak menekuk kedalam dan membulat penuh setelah dihidrasi. Setelah menetas,larva Artemia sp menyerupai larva udang dan bergerak dengan lincah.
4.2.5. Pengamatan Mikroalga
4.2.5.1 fitoplankton
Fitoplankton yang di dapat dalam praktikum planktonologi, setelah diidentifikasi diperoleh bahwa yang tergolong sebagai fitoplankton adalah Tetraselmis chuii (alga berwarna bening, bentuk pipih memanjang, motil), Chaetoceros calatrans (berwarna hijau, bertubuh pipih, hidup soliter), Phorphyridium (berwarna bening, pinggirnya berwarna coklat, nucleus bening), Spirulina platensis (berwarna hijau, berbentuk spiral, motil), Skeletonema costatum (berwarna hijau muda, bentuk persegi, motil),
4.2.5.2 zooplanlankton
Zooplankton yang di kultur dalam praktikum planktonologi adalah spesies Artemia sp. Spesies ini bergerak aktif, menyerupai udang mikroskopic, dan kaki bersegm
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Planktonologi adalah sebaga berikut:
1. Teknik yang digunakan untuk mengambil sampel plankton adalah secara pasif, yakni dengan menyaring sampel air ke dalam plankton net dan juga mencatat parameter fisikanya.
2. Mengidentifikasi sampel plankton dapat dilakukan dengan cara mencari di buku identifikasi plankton.
3. Penetasan Artemia adalah dengan cara menempatkan kista pada air dengan suatu salinitas yang tinggi, selain itu diperlukan juga suhu yang tinggi sekitar 28 C, waktu penetasannyapun selama kurang lebih 24 jam.
4. Bentuk awal perkembangan instar dan nauplius Artemia adalah bulat telur berwarna coklat pekat, setelah menetas menjadi larva atau nauplius berwarna coklat transparan dan bergerak-gerak secara aktif. Dalam waktu beberapa hari, akan menjadi artemia remaja yang kemudian akan menjadi Artemia dewasa yang akan melakukan perkembangbiakan kembali.
5. Kaitan distribusi plankton dengan faktor-faktor lingkungan adalah bahwa plankton adalah primary producer sehingga berperan sentral dalam siklus kehidupan.
6. Setelah didapatkan hasil pada praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa pada pemancingan ini keadaan airnya masih baik, dan memiliki potensi yang baik, karena memiliki tingkat kesuburan yang baik.
5.2 Saran
Adapun Saran buat praktkum palnktonologi adalah
1. Untuk seluruh mahasiswa dan asisten hendaknya sebelum melakukan praktikum dan debat pada forum diskusi banyak-banyak membaca referensi buku yang bersangkutan.
2. Praktikan agar lebih mengoptimalkan waktu yang diberikan agar mendapat hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S. 1983. Distribusi dan Kelimpahan Plankton. Universitas Diponegoro: Semarang.
Harefa, Fa’ahakhododo. 1997. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. Penebar Swadaya:Jakarta.
Hutabarat, S dan Evans. 1985. Kunci Identifikasi Zooplankton Daerah Tropik. UI Press:Jakarta.
Hutabarat, S. 2000. Produktivitas Perairan dan Plankton. Badan Penerbit Universitas Diponegoro:Semarang.
Martin, J. H., Fitzwater, S. E. 1988. Iron-Deficiency Limits Phytoplankton Growth In The Northeast Pasific Subarctic. Nature 331: 341-343
Nybakken. 1985. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia:Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. WB Saunders Company:Phyladelphia.
Omori, M., Ikeda, T. 1992. Methods In Marine Zooplankton Ecology.
Krieger Publishing Company: Malabar, USA.
Richtel, M. (May 1, 2007). Recruiting Plankton To Fight Global Warming:
New York Times
Romimohtarto, Kasijan. 2004. Meroplankton Laut. Djambatan: Jakarta
Sachlan. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro: Semarang.
Soedarsono, P dan Suminto. 1989. Petunjuk Identifikasi Plankton di Perairan Jepara. Universitas Diponegoro:Semarang.
Sulardiono, B. 1988. Petunjuk Praktikum Planktonologi. Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro:Semarang.
1.1. Latar Belakang
Plankton merupakan jasad renik yang umumnya terdiri dari organisme pelagik baik yang berasal dari binatang maupun tumbuhan. Umumnya mereka berukuran sangat kecil dan terapung/melayang di kolam air. Gerakan mereka biasanya selalu ditentukan oleh gerakan masa air itu sendiri (Davis, 1955).
Plankton mempunyai peranan penting dalam budidaya perairan, karena plankton adalah pakan alami ikan. Plankton juga merupakan produsen primer di perairan, baik perairan asin, tawar maupun payau. Karena ikan memakan plankton, saya sebagai mahasiswa perikanan budidaya, merasa perlu menggetahui plankton, karena plankton juga meyuburkan suatu perairan sebagai wadah budidaya.
Praktikum planktonologi ini dilakukan dengan tujuan agar para mahasiswa dapat mengetahui pengertian tentang plankton, klasifikasi plankton berdasarkan habitat dan ukurannya, serta parameter fisika yang berhubungan dengan plankton. Para mahasiswa juga diharapkan dapat mengetahui konsep dasar mengenai kondisi lingkungan yang mempengaruhi distribusi plankton
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum planktonologi adalah sebagai berikut :
1.2.1. Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam air laut.
a. Menerapkan teknik penetasan kista Artemia sp
b. Mengamati bentuk-bentuk awal perkembangan instar dan nauplius Artemia sp
c. Mempelajari fase-fase perkembangan dalam siklus hidup Artemia sp
1.2.2. Teknik Sampling Plankton
a. Mengenal dan mempelajari struktur komunitas plankton perairan umum (tawar, payau, asin, tambak, pollder, pemancingan umum, sungai tercemar – tergantung ketersediaan lokasi);
b. Menerapkan teknik pengambilan sampel plankton secara pasif di beberapa badan air (danau, muara, pesisir, sungai – tergantung ketersediaan lokasi);
c. Menerapkan teknik pengelolaan sampel plankton (pengambilan, pengawetan, penyimpanan di lapangan dan di laboratorium).
1.2.3. Struktur Komunitas Plankton
a. Mengamati dan mengidentifikasi sampel plankton yang diperoleh;
b. Menganalisa data yang di dapat dari hasil pengamatan untuk mempelajari; kaitan distribusi plankton dengan faktor-faktor lingkungan.
1.2.4. Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam Air Laut
a. Menerapkan teknik penetasan kista Artemia sp;
b. Mengamati bentuk-bentuk awal perkembangan instar dan nauplius Artemia sp;
c. Mempelajari fase-fase perkembangan dalam siklus hidup Artemia sp.
1.2.5. Pengamatan Microalgae dan Daphnia sp
a. Mengetahui sifat, bentuk dan morfologi beberapa jenis Fitoplankton dan Zooplankton.
1.3. Waktu dan Tempat
Pengambilan sample dilaksanakan pada hari Senin, 05 April 2010 pukul 16.00-17.30 WIB kolam pemancingan Sawah Besar, Kecamatan Gayam Sari, Semarang. Sedangkan Analisis laboratorium dilaksanakan pada hari senin - selasa, 12-13 April 2010 pukul 07.00 - 13.00 WIB di Laboratorium Ilmu – ilmu Perairan Fakultas Perikanan, Tembalang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sampling Plankton
2.1.1. Teknik Sampling Plankton
Metode sampling Plankton terbagi menjadi dua yaitu metode Kualitatif, yaitu dimaksudkan untuk mengetahui jenis–jenis plankton. Sedangkan metode Kuantitatif, yaitu untuk mengetahui kelimpahan plankton yang berkaitan dengan distribusi waktu dan tempat. (Omori dan Ikeda,1992)
Metoda pengambilan sampling terbagi menjadi dua yaitu Pengambilan Sampling secara Horizontal ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran plankton horizontal. Plankton net pada suatu titik di laut, ditarik kapal menuju ke titik lain.
Jumlah air tersaring diperoleh dari angka pada flowmeter atau dengan mengalikan jarak diantara dua titik tersebut dengan diameter plankton net.
Flowmeter untuk peningkatan ketelitian. Sampling secara Vertikal yaitu dengan meletakkan plankton net sampai ke dasar perairan, kemudian menariknya keatas. Kedalaman perairan sama dengan panjang tali yang terendam dalam air sebelum digunakan untuk menarik plankton net ke atas.
Volume air tersaring adalah kedalaman air dikalikan dengan diameter mulut plankton net. (Omori dan Ikeda,1992)
Jenis Peralatan Sampling Plankton:
Peralatan yang dapat digunakan dalam kegiatan sampling plankton adalah:
1. Sampling menggunakan tabung/botol air (Water bottle) (Omori dan Ikeda, 1992).
Sampling dilakukan dengan mengambil air laut pada kedalaman tertentu, menggunakan botol 100 ml. Sampling pada perairan di wilayah pantai dimana kelimpahan plankton tinggi. Sampling untuk plankton berukuran kecil ( fito atau nannoplankton ). Sampling mendapatkan air sampel 1 – 50 liter.
2. Sampling menggunakan Van Dorn/ Nansen Bottle Sampler (Omori dan Ikeda,1992).
Gambar 1. Tabung Van Dorn
Tabung Van Dorn atau Nansen Bottle Sampler terbuka diturunkan pada kedalaman tertentu. Tabung Van Dorn atau Nansen Bottle Sampler akan ditutup dengan meluncurkan ring atau besi pemberat sehingga bagian atas dan bawah akan tertutup.
3. Sampling menggunakan Pompa Hisap (Romimohtarto dan Juwana,1998)
Gambar 2. Pompa Hisap
Sampling dengan memompa air laut dari kedalaman tertentu. Ujung pompa hisap diturunkan sampai dengan kedalaman tujuan. Air sampel ditampung dan disaring. Keuntungannya volume dan kedalaman dapat ditentukan. Kekurangannya volume air dibatasi oleh diameter pipa penghisap. Tidak semua plankton dapat terhisap sesuai tujuan.
4. Sampling menggunakan Plankton Net (Omori dan Ikeda,1992;Romimohtarto & Juwana, 1998)
Plankton Net untuk phytoplankton berukuran diameter 31 cm dengan mata jaring berukuran 30 – 60 mikron.Plankton Net untuk zooplankton berukuran diameter 45 cm dengan mata jaring berukuran 150 – 500 mikron. Plankton Net untuk ikhtyoplankton berukuran diamater 55 cm.
2.1.2. Teknik identifikasi plankton
Identifikasi dilakukan dengan bantuan mikroskop perbesaran 100x, dengan melakukan pengulangan 3x dengan 10 lapang pandang yang berbeda. Pertama pengamatan sample plankton, setelah itu pengidentifikasian plankton yang diamati dengan menggunakan buku kunci identifikasi plankton. Peralatan yang digunakan dalam perhitungan sampel adalah Sedgwick-Rafter, dimana pengamatan dengan alat ini ditujukan bagi Mikrozooplankton dan Fitoplankton dengan menggunakan mikroskop binokuler perbesaran 100 x ( Omori dan Ikeda, 1992 ).
2.2. Parameter Fisika
2.2.1. Kecerahan
Kecerahan air merupakan bentuk pencerminan daya tembus atau intensitas cahaya matahari yang masuk dalam perairan. Sedangkan kekeruhan air merupakan suatu ukuran bias cahaya dalam air yang menunjukkan derajat kegelapan di dalam suatu perairan yang disebabkan adanya partikel hidup maupun mati yang dapat mengurangi transmisi cahaya (Romimohtarto, 1984).
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air (Effendi, 2003).
Sifat bahan-bahan penyebab kekeruhan mempengaruhi warna perairan, sedangkan konsentrasinya mempengaruhi kecerahan air. Kekeruhan yang disebabkan tanah lempung merupakan salah satu pembatas pertumbuhan fitoplankton dan zooplankton. Tetapi apabila kekeruhan disebabkan plankton, maka pengukuran kecerahan merupakan indeks untuk menentukan besarnya produktivitas primer (Odum, 1981).
2.2.2. Kedalaman
Kedalaman adalah parameter fisika yang mendasar dan berpengaruh pada aspek lainnya seperti kecerahan, suhu, dan kelarutan oksigen. Kedalaman dalam suatu ekosistem perairan dapat bervariasi dari suatu tempat ke tempat yang lain (Erick, 2008).
Fitoplankton dalam melakukan fotosintesis membutuhkan cahaya matahari. Penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat dengan makin tingginya kedalaman. Ini sebabnya fitoplankton sebagai produsen primer hanya didapat pada daerah atau kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus pada perairan (Hutabarat dan Evans, 1985).
Kedalaman perairan dalam proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam air kolam tinggal 1% dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendi, 2003).
2.2.3. Suhu
Suhu perairan merupakan satu faktor yang sangat berperan dalam kehidupan dan pertumbuhan suatu organisme. Suhu air mempunyai peranan yang penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air serta proses metabolisme ekosistem perairan. Sehingga suhu air bukan saja merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat kimia perairan, tetapi juga secara fisiologis bahwa secara umum kisaran suhu yang optimal bagi suhu yang luas disebut Eurythermal. Sedangkan yang hidup pada kisaran suhu yang sempit disebut Stenothermal. Plankton dapat berkembang dengan baik bila suhunya berkisar antara 25 – 32 ºC (Sachlan, 1982).
Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis. Kenaikan suhu perairan akan melibatkan kenaikan aktifitas biologi sehingga memerlukan lebih banyak oksigen dalam perairan tersebut. Air akan menurunkan tingkat salubility oksigen dengan demikian menurunkan kemampuan organisme akuatik dalam memanfaatkan oksigen yang tersedia untuk kelangsungan proses biologi dalam air (Asdak, 1995).
2.2.4. Salinitas
Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah garam yang terlarut dalam suatu volume air dalam 0/00 (permil) dan didefinisikan sebagai jumlah zat garam yang terlarut dalam 1 kg air dengan anggapan seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida serta semua bromida dan iodide diganti menjadi karbon dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna (Hutabarat dan Evans, 1986).
Salinitas sangat penting karena mempengaruhi proses osmoregulasi pada sebagian besar organisme payau. Plankton pada salinitas 20 permil ke atas mirip dengan plankton laut, sedangkan yang hidup pada salinitas 0 – 10 permil mirip plankton yang ada di air tawar (Sachlan 1982).
2.2.5. Arus
Arus merupakan gerakan angin yang sangat luas yang terjadi pada suatu perairan. Arus ini mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan pergerakan dan distribusi plankton pada suatu perairan. Pergerakan (migrasi) plankton terjadi secara vertikal pada beberapa lapisan perairan, tetapi kekuatan renangnya sangat kecil jika dibandingkan dengan kekuatan arus pada perairan tersebut (Hutabarat dan Evans, 2000).
2.3. Struktur Komunitas
2.3.1. Kelimpahan Plankton
Secara umum keberadan plankton di perairan akan dipengaruhi oleh tipe perairannya (mengalir atau tenang), kualitas fisika dan kimia perairan, kandungan unsur hara dan adanya competitor dan atau pemangsa plankton. Pada perairan tergenang keberadaan plankton akan berbeda dan waktu ke waktu dan berbeda pula dalam menempati ruang dan kolom air. Sedangkan pada perairan mengalir, unsur ke waktu dan ruang relative tidak berpengaruh, kecuali jika ada kasus – kasus pencemaran sungai oleh aktivitas manusia.
Kelimpahan plankton dihitung dengan melakukan penyaringan dengan plankton net kemudian hasil penyaringan yang tertinggal didalam botol plankton net diamati di bawah mikroskop(Kaswadji, 1976).
2.3.2. Indeks Keanekaragaman Spesies
Indeks keanekaragaman atau “Diversity Index” diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik yang melukiskan struktur informasi-informasi mengenai jumlah spesies suatu organisme. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisis informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman yaitu dengan menentukan persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies. Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan(Kaswadji, 1976).
2.3.3. Indeks Keseragaman Spesies
Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 – 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, maka populasi menunjukkan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Pasengo, 1995).
2.3.4. Indeks Dominasi
Dominansi jenis zooplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (d). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1971).
2.4. Kultur Artemia
2.4.1. Siklus hidup artemia
Siklus hidup Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-20 jam pada suhu 25 derajat celcius kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan tetap menyelesaikan perkembanganya kemudian berubah menjadi naupli yang akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli aka berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organic lainya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak memilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia dalam air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu. 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 cm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. pada kondisi demikian biomasnya akan mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli (Diana Chilmawati, 2007).
Kista Artemia sp yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas dalam waktu 24-36 jam. Larva Artemia yang baru menetas dikenal dengan nauplius. Nauplius dalam pertumbuhanya mengalami 15 kali perubahan bentuk. Masing-masing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Diana Chilmawati, 2007).
Pertama kali menetas larva Artemia sp disebut Instar I. Nauplius stadia I (instar I) ukuran 400 mikron. Lebar 170 mikron dan berat 15 mikrogram, berwarna orange kecoklatan. Setelah 24 jam menetas, naupli akan berubah menjadi instar II. Gnatobasen sudah berbulu, bermulut, terdapat saluran pencernaan dan dubur. Tingkatan selanjutnya, pada kanan dan kiri mata nauplius terbentuksepasang mata majemuk. Bagian samping badanya mulai tumbuh tunas-tunas kaki, setelah instar XV kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang. Nauplius menjadi Artemia dewasa (proses instar I-XV) antara 1-3 minggu (Diana Chilmawati, 2007).
Pada tiap tahapan perubahan instar nauplius mengalami moulting. Artemia dewasa memiliki panjang 8-10 mm ditandai dengan terlihat jelas tangkai mata pada kedua sisi bagian kepala, antena berfungsi untuk sensori. Pada jenis jantan antenna berubah manjadi alat penjepit (muscular grasper). Sepasang penis terdapat pada bagian belakang tubuh. Pada jenisbetina antenna mengalami penyusutan (Diana Chilmawati, 2007).
2.4.2. Kultur Artemia
Gambar 3. Siklus Hidup Artemia sp
Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, betina Artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungnya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakan sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam. Artemia dewasa toleran terhadap selang -18 derajat hingga 40 derajat.. sedangkan temperature optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25-30oC. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30-35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar tetapi mudah mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi perumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan artemia. Artemia dengan supply oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae.pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dah beranak-pinak dengan cepat. Sehingga supply Artemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organic, atau apabila salinitas meningkat, artemia akan memakan bacteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista. ( Anonymous, 2008 ).
Syarat melakukan kultur massal Artemia secara terkendali berdasarkan metode yang berkembang adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Metode Kultur Artemia Massal
1. Bak Pemeliharaan dan Perlengkapan
Kultur Artemia dapat dilakukan pada bak-bak yang terbuat dari tembok , bak kayu berlapis plastik maupun bak dari fiberglass. Kapasitas bak tersebut minimal 1 ton air. Pada usaha pembenihan udang, kultur Artemia ini dapat dilakukan pada bak-bak untuk pemeliharaan larva udang. Bak kultur tersebut harus dilengkapi dengan peralatan aerasi dan jika memungkinkan dilengkapi dengan air lift untuk membuat sistem air berputar.
2. Makanan
Karena cara makan Artemia adalah dengan menyaring (Filter feeder), maka diperlukan makanan dengan ukuran partikel khusus, yaitu lebih kecil dari 60 mikron. Makanan yang diberikan dapat berupa makanan buatan maupun makanan hidup atau plankton. Makanan buatan yang memberikan hasil cukup baik dan mudah didapat adalah dedak halus. Cara pemberiannya harus disaring terlebih dahulu dengan saringan 60 mikron. Sedangkan plankton yang dapat digunakan sebagai makanan Artemia adalah jenis plankton yang juga digunakan sebagai makanan larva udang, seperti Tetraselmis sp, Chaetoceros sp, Skeletonema sp. Oleh karena itu kultur Artemia dengan plankton sebagai makanan alami lebih mudah dilakukan dalam suatu unit usaha pembenihan udang.
3. Prosedur Pemeliharaan
Untuk mendapatkan biomassa Artemia, nauplius Artemia dikultur dalam beberapa hari. Lama pemeliharaan tergantung pada ukuran Artemia yang dikehendaki. Jika Artemia digunakan sebagai makanan juvenil udang, maka lama pemeliharaan sekitar 7 hari, sedangkan jika digunakan sebagai makanan udang dewasa maupun untuk diproses sebagai bahan baku makanan buatan, maka lama pemeliharaan sekurang-kurangnya 15 hari. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengkultur Artemia adalah sebagai berikut :
Tetaskan cyst Artemia untuk menghasilkan nauplius. Jumlah cyst yang ditetaskan 10 - 15 gram untuk 1 ton air dengan perhitungan efisiensi penetasannya adalah 200.000 nauplius/gram cyst. Isi bak dengan air bersalinitas antara 20 - 35 permil yang disaring terlebih dahulu. Tebarkan nauplius Artemia yang baru menetas dan aerasi medium pemeliharaan. Berikan makanan (dedak halus atau plankton) jumlahnya ditentukan berdasarkan kecerahan air medium pemeliharaan. Pemberian makanan ini dilakukan sampai kecerahan air antara 15 – 20 cm dan dipertahankan terns selama masa pemeliharaan. Untuk mengukur kecerahan air medium pemeliharaan dapat digunakan "tingkat kecerahan" yang berskala (dalam centimeter). Selama pemeliharaan, amati perkembangan Artemia, yaitu pertumbuhan dan perkiraan yang masih hidup. Setelah lama pemeliharaan tertentu, 7 sampai 15 hari, dapat dilakukan pemanenan biomassa Artemia. Caranya adalah matikan aerasi dan biarkan sekitar 15 menit. Artemia akan muncul di permukaan dan selanjutnya dipanen dengan menggunakan seser, lalu dicuci. Biomassa Artemia dapat langsung diberikan kepada udang yang disesuaikan dengan ukurannya atau disimpan dalam bentuk segar (dalam freezer) maupun dikeringkan untuk dibuat tepung Artemia (Diana Chilmawati).
2.5. Mikroalga
Mikroalgae diklasifikasikan sebagai tumbuhan karena mengandung chlorophyl dan mempunyai suatu jaringan sel menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar penyelidikan akhir-akhir ini klasifikasi pada semua jenis sel tunggal dari organisme eukaryotik dan multi sel algae (termasuk mikroalgae) masuk dalam Kingdom Pratista. Melalui pendekatan suatu skema klasifikasi, species mikroalgae didefinisikan dari kesamaan morfologi dan biokimia. Beberapa genus mempunyai spesies yang hampir sama atau karakteristik strainnya yang digunakan didalam kegiatan budidaya pakan alami. Kesulitan-kesulitan lain dalam indentifikasi mikroalgae ini yaitu beberapa strain tidak dapat dibedakan dengan melihat dibawah pencahayaan mikroskop dan teknik biokimia. Namun demikian secara umum dengan menggunakan pencahayaan mikroskop, mengelompokan didalam group taksonomi secara ciri-ciri makro dan suatu detail deskripsi dan hasil foto morfologi dari sel algae yang penting dengan organisme-organisme lainnya dapat dilakukan identifikasi jenis/ species mikroalgae yang kita butuhkan untuk tujuan budidaya pakan alami (Diana Chilmawati).
Skeletonema merupakan organisme yang membentuk rantai dengan sel yang berbentuk membulat yang dihubungkan oleh untaian silika panjang satu dengan lainnya. Sel individu berukuran lebar 6-10 mm dan panjang 20-25 mm dengan cakupan filamen mencapai panjang 500 mm berisi sekitar 15-20 sel. Organisme ini ditemukan juga di perairan muara pada salinitas 10 ppt dan merupakan genus plankton yang umum serta digunakan sebagai pakan dalam budidaya (Diana Chilmawati).
Chaetoceros merupakan Organisme sel tunggal dan dapat membentuk rantai menggunakan duri yang saling berhubungan dari sel yang berdekatan. Tubuh utama berbentuk seperti petri dish. Jika dilihat dari samping organisme ini berbentuk persegi dengan panjang 12-14 mm dan lebar 15-17 mm, dengan duri yang menonjol dari bagian pojok. Selnya dapat membentuk rantai sebanyak 10-20 sel dan mencapai panjang 200 mm. Populer sebagai pakan rotifer, kerang-kerangan, tiram, dan larva udang (Diana Chilmawati).
Tetraselmis merupakan orgaisme hijau motil, lebar 9-10 mm, panjang 12-14 mm, dengan empat flagel yang tumbuh dari sebuah alur pada bagian belakang anterior sel. Sel-selnya bergerak dengan cepat di air dan tampak bergoncang pada saat berenang. Ada empat cuping yang memanjang dan memiliki sebuah titik mata yang kemerah-merahan. Pyramimonas adalah organisme yang berkaitan dekat dengan alga hijau dan memiliki penampakan serta sifat berenang yang identik dengan tetraselmis. Kedua organisme ini adalah sumber makan yang populer untuk mengkultur rotifer, kerang, dan larva udang (Diana Chilmawati).
Spirulina filamennya berukuran lebar 5 -6 mm dan panjang 20-200 mm berbentuk spiral. Dapat berwarna biru-hijau atau merah. Spirulina merupakan bahan penyusun dalam banyak pellet ikan dan pakan invertebrate (Diana Chilmawati).
Porphyridium merupakan organisme uniseluler berbentuk bola dengan diameter 7-12 mm. Diklasifikasikan sebagai salah satu spesies alga merah yang sederhana karena organisme ini tidak bereproduksi secara seksual dan memiliki glikogen sebagai penyusun tempat penyimpanan. Alga ini digunakan pada lingkungan budi daya untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat (Diana Chilmawati).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam Praktikum Plaktonologi disajikan dalam tabel 1 seperti di bawah ini:
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam Teknik Sampling Plankton
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Botol Plastik/gelas 20 ml - Untuk tempat penyimpanan sample plankton
2 Ember 20L - Mengambil air dari kolam
3 Gayung - Mengambil air dari kolam
4 Plankton net - Menyaring plankton
5 Kertas label - Memberi tanda pada sampel
6 Termometer Air Raksa 10c Mengukur suhu air dan udara
7 Salinometer 1‰ Mengukur salinitas air
8 Secchi disc 1 cm Mengukur kedalaman air dan kecerahan air
9 Bola Arus - Mengukur kecepatan arus
10 Stopwacth 0.01 s Mencatat waktu
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam Teknik Sampling Plankton
No Bahan Ketelitian Kegunaan
1 Sampel awetan plankton - Untuk Pengamatan
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam Struktur Komunitas Plankton
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Mikroskop - Untuk mengamati plankton
2 Buku identifikasi plankton - Untuk mengidentifikasi plankton
3 Sadgwick Raffter - Untuk menghitung plankton
4 Gelas Penutup - Untuk menutup sadgwick Rafter
Tabel 4. Alat yang digunakan dalam Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam air laut
No. Alat Ketelitian Kegunaan
1. Sedwigck –Raffter - Menghitung plankton
2. Mikroskop - Untuk pengamatan
3. Termometer air raksa 1oc Mengukur suhu air dan udara
4. Refraktometer Mengukur salinitas air
5. Gelas Ukur 100 ml Mengencerkan plankton
6. Labu ukur 1000ml - Mengukur banyaknya air
7. Kantong plastic hitam - Untuk tempat sampah
8. Object glass - Untuk menutup cover glass
9. Tali raffia - Untuk mengukur kedalaman air
10. Botol plastik jernih - Untuk tempat plankton
11. Aerator, selang plastic & batu air - Untuk membuat gelembung
12. Timbangan 1 digit - Untuk menimbang garam dan kista kering
13. Pipet tetes panjang - Untuk memindahkan larutan
14. Lampu duduk 60 watt - Penerang
15. Lap/majun katun - Alat pembersih
Tabel 5. Bahan yang digunakan dalam Penetasan dan Kelulushidupan Artemia sp dalam air laut
No Bahan Ketelitian Kegunaan
1 Air Laut - Media penetasan
2 Aquades - Penghidrasi Artemia sp
3 Kista kering Artemia - Penetasan Artemia sp
4 Alkohol 70% - Untuk melumpuhkan plankton
Tabel 6. Alat yang digunakan dalam pengamatan Microalgae
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Mikroskop - Untuk mengamati plankton
2 Slide glass -
3 Pipet tetes -
Tabel 7. Bahan yang digunakan dalam pengamatan Microalgae
No Alat Ketelitian Kegunaan
1 Fitoplankton - Untuk Pengamatan
2 Zooplankton - Untuk Pengamatan
3.2. Metode
3.2.1 Sampling Plankton
1. Menyaring air dengan volume 100 L ke dalam plankton net
2. Memberi formalin dan label pada sampel yang diperoleh
Pengambilan sample :
1. Lokasi pengambilan sample dipelajari, misalnya jarak dari tepi badan air, harus dapat dicapai pada segala musim sepanjang tahun, kondisi pasang surut saat pengambilan sample.
2. Titik-titik pengambilan sample harus ditentukan pada lokasi.
3. Bila pengambil sample masuk kedalam air, diusahakan bergerak perlahan dan setelah sampai dilokasi, berdiam diri sejenak menunggu air jernih kembali.
4. Jaring dan botol penampung sample dipegang didalam air. Air permukaan ditimba dengan ember (10-20 l) minimum 100 l dan dituangkan secara hati-hati kejaring plankton, diusahakan seluruh volume air tersebut masuk dan tersaring dengan baik.
5. Botol penampung dilepaskan dari palankton net, sample dituangkan dengan hati-hati kedalam botol sample, kemudian diberi formalin 40% 2-3 tetes, lalu botol ditutup rapat-rapat dan diberi label (nomor kode lokasi, hari-tanggal, jam, nama pengambil sample).
6. Botol sample ditaruh dalam wadah yang kuat dan terlindung cahaya, semua kejadian pengambilan sample dicatat di log book.
a. Pengukuran parameter fisika
1. Temperature air dan udara diukur dengan menggunakan thermometer air raksa.
2. Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer yang telah dikalibrasi.
3. Cuaca diamati secara kualitatif, berawan, hujan, cerag, dan sebagainya.
4. Kedalaman badan air diukur dengan menggunakan secchi disc.
5. Kecerahan badan air diukur dengan menggunakan secchi disc.
6. Segmen badan air bebas ditentukan yang cukup luasnya dan bersih dari obstruksi, kecepatan arus permukaan perairan diukur dengan menggunakan bola arus dan stopwatch.
b. Identifikasi plankton
1. Pengamatan sample plankton dibawah mikroskop perbesaran 100x, dengan pengulangan 3x pada 10 lapang yang berbeda
2. Pengidentifikasian plankton yang diamati dengan menggunakan buku kunci identifikasi plankton.
3.2.2. Kultur Artemia Dalam Air Laut
1. Beberapa butir kista Artemia diambil, kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran terendah (10x10), bentuk dan warna kista Artemia tersebut digambar dan dideskripsikan.
2. Kista kering Artemia ditimbang 0,1 gr menggunakan timbangan elektrik dengan wadah dari kertas almunium foil (5x5 cm) yang dilipat dan dibentuk menjadi kotak bujur sangkar.
3. 100 ml aquades dituangkan dalam gelas beaker 200 ml.
4. Agar proses hidrasi kista terjadi lebih cepat, kista tersebut dimasukkan kedalam 100 ml aquades selama 60 menit dan ditaruh pada suhu kamar.
5. Sample kista yang telah dihidrasi diambil dengan menggunakan pipet, kemudian diamati dibawah mikroskop, bentuk dan warna kista Artemia setelah proses hidrasi digambar dan dideskripsikan.
6. Setelah 60 menit kista disaring, kemudian bagian bawah saringan disemprot perlahan-lahan dengan 100 ml air laut yang dijatuhkan kedalam gelas beaker 200 ml. kemudian diberi label lengkap (grup praktikum, jenis media, jam dan tanggal).
7. Waktu (tanggal, hari, jam, dan menit) dicatat ketika memasukkan kista kedalam 200 ml air dalam botol plastik.
8. Ditunggu sekitar 3-5 menit sampai banyak kista (90%) mengendap.
9. Kuat aerasi diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada kista yang mengendap didasar maupun melekat didinding botol plastik.
10. Lampu neon dinyalakan untuk penghangat dan penerangan pada malam hari.
11. Debit dipastikan konstan dan lampu menyala.
3.2.3. Hatching Rate Artemia
1. 1 ml biakan artemia diambil dengan menggerakkan pipet, kemudian dimasukkan kedalam bilik hitung sedgewick-rafter, lalu diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x10. Setelah cukup mengamati gerakan instar, biakan Artemia diberi beberapa tetes alkohol 70% dan ditutup dengan gelas penutup, lalu diamati morfologi instar atau mysis.
2. Warna dan bentuk telur yang tidak menetas diamati, serta fase penetasan telur maupun karakteristik instar, kemudian digambar masing-masing secara tematik dengan diberi keterangan morfologi yang jelas.
3. Persentase kista yang menetas dan tidak menetas dihitung dalam bilik hitung sedgewick-rafter.
4. Data dimasukkan kedalam rumus:
HRm = x 100%
HRttm = x 100%
3.2.4. Pengamatan Mikroalga
1. Sample fitoplankton diambil dari biakan kultur alga dengan menggunakan pipet steril, diteteskan keatas slide glass.
2. Sample diamati dibawah mikroskop mulai perbesaran 10x10.
3. Pergerakan (motil/non motil) diamati kemudian warna dan bentuk fitoplankton yang diambil digambar secara detil dan diberi keterangan selengkap-lengkapnya.
4. Pengamatan diulangi terhadap semua sample yang ada.
IV. HASIL dan PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Sampling Plankton
4.1.1.1. kelimpahan
Tabel Kelimpahan plankton yang didapat tersaji pada tabel 8 di awah ini.
Tabel 8. Kelimpahan Plankton Titik Sampling 1
No Spesies Ulangan
ni Pi ln pi -Pi .ln pi
1 2 3
1 Eudorinn wallichi 21 12 0 11 1401,29 0,560 -0,579 0,324
2 Trinithin sp 2 0 0 0,66 84,077 0,034 -3,381 0,115
3 Gonntoaygon sp 1 1 0 0,66 84,077 0,034 -3,381 0,115
4 Anabacna sp 1 1 1 1 127,39 0,051 -2,976 0,152
5 Anabanapsis anciborskii 0 2 1 1 127,39 0,051 -2,976 0,152
6 Wicrucy stuoniruginosn 5 3 0 2,66 338,857 0,135 -2,00 0,27
7 Calcanus sp 0 0 1 0,33 42,038 0,017 -4,07 0,069
8 Brincchionus pala 0 0 1 0,33 42,038 0,017 -4,07 0,069
9 Tinntinopsis sp 2 0 0 0,66 84,077 0,034 -3,381 0,115
10
11 Coamarriuumm sp
Pinnularia sp 0
0 0
0 2
2 0,66
0,66 84,077
84,077 0,034
0,034 -3,381
-3,381 0,115
0,115
∑N=2499,3 ∑=1,63
Tabel 9. Kelimpahan Plankton pada Titik Sampling II
No Spesies Ulangan
ni pi ln pi -Pi .ln pi
1 2 3
1 Eudorinn wallichi 7 0 0 2,33 296,82 0,097 -2,333 0,226
2 Chlorella sp 19 15 19 17,66 2249,70 0,736 -0,306 0,225
3 Spirulina sp 1 1 0 0,66 84,077 0,027 -3,612 0,097
4 Nitasclin clustrraria 0 1 0 0,33 42,038 0,014 -4,268 0,059
5 Trinithin branchio 0 2 0 0,66 84,077 0,027 -3,612 0,097
6 Brnchonus sp 0 0 2 0,66 84,077 0,027 -3,612 0,097
7 Fodocyatio sp 0 0 1 0,33 42,038 0,014 -4,268 0,059
8 Stuoniruginosn sp 0 0 3 1 127,39 0,042 -3,170 0,133
9 Pinnularia sp 0 0 1 0,33 42,038 0,014 -0,059 0,059
∑=3052,6 ∑=1,052
Tabel 10. Kelimpahan Plankton Titik Sampling 3
No Spesies Ulangan
ni pi ln pi -Pi .ln pi
1 2 3
1 Anabanapsis anciborskii 1 0 1 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
2 Brnchionus sp 2 2 0 1,33 169,43 0,250 -1,386 0,346
3 Wicrorystuonirugionsn sp 2 2 0 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
4 Chlorella sp 3 0 0 1 127,39 0,188 -1,671 0,314
5 Nitzsclin clustrrarium 0 2 0 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
6 Gonntoay gonnotuenium 0 0 1 0,33 42,038 0,062 -2,780 0,172
7 Pinnularia sp 0 0 2 0,66 84,077 0,125 -2,079 0,259
∑=675,16 ∑=1,868
4.1.1.2.indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman spesies untuk titik sampling I, titik sampling II dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 11 di bawah ini:
Tabel 11. Indeks Keanekaragaman Spesies Titik I, Titik II dan Titik III
No. Titik sampling (- Pi LnPi) H’
1 I 1,63 1,63
2 II 1,868 1,868
3 III 1,052 1,052
4.1.1.3. indeks Keseragaman
Indeks keseragaman spesies untuk titik sampling I, titik sampling II dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 7 di bawah ini :
Tabel 12. Indeks Keseragaman Spesies Titik I, Titik II dan Titik III
No. Titik sampling H’ Hmax E
1 I 1,63 1,09 0,944
2 II 1,868 1,09 0,0171
3 III 1,052 1,09 0,965
4.1.1.4. indeks Dominasi
Indeks dominasi spesies untuk titik sampling I, titik sampling II dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 8 di bawah ini :
Tabel 13. Indeks Dominasi Titik I, Titik II dan Titik III
No. Titik sampling (ni/N)2 D
1 I 0,3498 0,3498
2 II 0,1618 0,1618
3 III 0,558 0,558
4.1.2. Parameter Fisika
Parameter fisika untuk titik sampling I, titik sampling III dan titik sampling III pada praktikum planktonologi ini dapat dilihat dalam Tabel 9 di bawah ini :
Tabel 14. Parameter Fisika Titik I, Titik III dan Titik III
No Titik Parameter Fisika
Kedalaman (cm) Kecerahan(cm) Kec.arus
(m/s) Suhu°C Salinitas (‰) Cuaca
air udara
1. I 153 cm 36 cm 0 m/s 32°C 33°C 0 cerah
2. II 152 cm 38,5 cm 0 m/s 32°C 33°C 0 cerah
3. III 125 cm 56 cm 0 m/s 32°C 33°C 0 cerah
4.1.3. Kultur Artemia sp
4.1.3.1. hatching Rate Menetas
Hatching Rate Artemia menetas dalam praktikum planktonologi adalah:
Tabel 15. Hatching Rate Artemia sp yang menetas
Media Salinitas Jumlah HRm Kista Umur
Mulai Pengamatan
Air Laut 35 ppt 124 61,69 % 9 april 15 april 6
4.1.3.2. hatching Rate Tidak Menetas
Hatching Rate Artemia tidak menetas dalam praktikum planktonologi ini
sebagai berikut:
Tabel 16. Tabel Hatching Rate Artemia sp yang tidak menetas
Media Salinitas Jumlah HRtm Kista Umur
Mulai Pengamatan
Air Laut 35 ppt 77 38,30 % 9 april 13 april 6
4.1.4 pengamatan Mikroalga
Pengamatan Mikroalga dalam praktikum planktonologi menghasilkan:
Tabel 17. Pengamatan Miroalga
NO NAMA GAMBAR KETERANGAN
1 Tetraselmis chuii
1. Bentuk seperti pita spiral Panjang berkelok-kelok
2. Berwarna hijau
2 Spirulina sp
1.Bentuk bulat lonjong
2. Berwarna hijau muda
3 Skeletonema costatum 1. Bentuk bulat
2. Berwarna merah
4 Chaeoceros sp 1. Bentuk memanjang dengan flagel
2. berwarna hijau
5 Phorpyridium sp
1. Bentuk kotak-kotak panjang berkoloni
2. Berwarna hijau
4.2. Pembahasan
4.2.1. Deskripsi Lokasi Sampling
Tempat yang kami gunakan sebagai tempat pengambilan sampling adalah berupa kolam pemancingan, dimana dalam kolam ini kultivan yang dibudidayakan adalah Ikan Patin, mas, mujair. Ukuran kolam pemancingan ini 60X50 m² dengan kedalaman bervariasi dari 125 – 153 cm. kolam pemancingan ikan ini beralamatkan Sawah Besar, Kecamatan gayam Sari pada tanggal 5 April 2010.
4.2.2. Parameter Fisika
4.2.2.1. suhu
Suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air, serta metabolisme ekosistem perairan. Temperature air secara langsung maupun tidak langsung berkaitan erat dengan fenomena limnologist yang terjadi pada setiap level kedalaman perairan dengan demikian temperature air bukan saja merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisika-kimia air lainya, tetapi juga sifat fisiologis organisme yang hidup dalam media air tersebut. Oleh karena itu, pengukuran temperature pada setiap kedalaman sangat perlu guna mengetahui karateristik limno-biologis pada suatu perairan. (Soedarsono, 1990)
Dari hasil sampling kelompok kami di kolam pemancingan sawah besar, Kecamatan GayamSari, Semarang. Menunjukan suhu air di ketiga titik sama yaitu 32ºC. Sedangkan suhu udara di ketiga titik yaitu 33ºC. Hal ini menandakan bahwa lokasi sampling yang diteliti mempunyai suhu rata-rata yang baik untuk biota perairan di daerah tropis. Plankton memerlukan suhu yang mendukung untuk dapat memperbanyak spesiesnya, seperti makhluk hidup lainnya yang membutuhkan suhu udara yang sesuai dengan hidupnya, karena apabila pada tempat hidup plankton tersebut tidak didukung dengan suhu yang cocok, maka plankton tersebut dapat mati atau mengalami pengurangan.
4.2.2.2. salinitas
Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah garam yang terlarut dalam suatu volume air dinyatakan dalam o/oo (permil) dan di definisikan debagai jumlah zat garam yang terlarut dalam 1 kg air dengan anggapan seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida serta semua bromide dan iodide diganti menjadi karbon dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna. ??
Salinitas sangat penting karena mempengaruhi proses osmoregulasi pada sebagian besar organism, pada sampling didapatkan salinitas sebesar 0 ppt, karena kelompok kami melakukan sampling dikolam pemancingan air tawar.
4.2.2.3. kecerahan
Kecerahan merupakan gambaran kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya atau intensitas cahaya matahari. Kecerahan juga merupakan nilai kuantitas dari kekeruhan perairan. Interaksi antara kekeruhan dengan faktor kedalaman akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga produktivitas plankton akan menurun. Kecerahan pada sampling didapat bahwa titik pertama 36, kedua 19, dan titik ketiga adalah 23.
4.2.2.4. kedalaman
Kedalaman air memberi petunjuk limnologist suatu habitat akuatik tertentu dan akan berpengaruh terhadap penetrasi sinar matahari, dengan semakin besar kedalaman, maka semakin kecil intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan karena sinar yang masuk akan mengalami penyerapan dan penyebaran. Pada hasil sampling didapat kedalaman titik satu adalah 153cm, titik ke dua 152 cm dan titik ke tiga 125cm.
4.2.2.5. kecepatan Arus
Mengenai arus air di suatu daerah untuk lokasi pesisir sangat penting. Karena arus air berhubungan dengan pergantian air. Arus air yang terlalu kuat dapat menimbulkan kerusakan dan mengakibatkan pendangkalan karena adanya erosi dan sedimentasi. Akibat dari semua itu dapat menyebabkan pengaturan air menjadi tidak efektif. Untuk memperkecil kerugian yang ditimbulkan oleh arus air kita perlu mempelajari pola perubahan angin dan arus air yang terjadi sepanjang tahun di daerah tersebut. Dari hasil praktikum didapat pada titik sampel 1, 2 dan 3 tidak terdapat arus atau arusanya 0, karena pada kolam pemancingan tidak terdapat inlet dan outlet.
4.2.3. Struktur Komunitas
Kelimpahan dari praktikum planktonologi diperoleh bahwa jumlah kelimpahan plankton pada titik sampling I adalah3,49 sedangkan pada titik sampling II adalah 2,05 dan pada titik sampling III adalah 0,65 Jumlah plankton yang diperoleh dalam titik sampling I memiliki jumlah terbanyak dibandingkan pada titik II dan III.
Berarti perairan kawasan kolam pemancingan termasuk termasuk dalam tipe subur yaitu mesopelagic. Dan merupakan tempat yang baik bila di gunakan sebagai tempat budidaya ikan, karena kelimpahan akan pakan alami berupa plankton.
4.2.4. Kultur Artemia
Bentuk Artemia yang menetas mirip dengan kecebong, bila telur Artemia tidak menetas berbentuk bulat hitam. Pergerakan Artemia aktifdan bersifat fototaksis positif. Telur Artemia atau cyste berbentuk bulat bnerlekuk dalm keadaan kering dan bulat penuh dalm keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tewbal dan kuat (Cholik dan Daulay,1985)
Pada pengamatan Artemia sp saat praktikum, kami dapatkan bahwa Artemia sp yang masih berupa kista kerig berwarna kecoklatan dan bentuknya bulat agak menekuk kedalam dan membulat penuh setelah dihidrasi. Setelah menetas,larva Artemia sp menyerupai larva udang dan bergerak dengan lincah.
4.2.5. Pengamatan Mikroalga
4.2.5.1 fitoplankton
Fitoplankton yang di dapat dalam praktikum planktonologi, setelah diidentifikasi diperoleh bahwa yang tergolong sebagai fitoplankton adalah Tetraselmis chuii (alga berwarna bening, bentuk pipih memanjang, motil), Chaetoceros calatrans (berwarna hijau, bertubuh pipih, hidup soliter), Phorphyridium (berwarna bening, pinggirnya berwarna coklat, nucleus bening), Spirulina platensis (berwarna hijau, berbentuk spiral, motil), Skeletonema costatum (berwarna hijau muda, bentuk persegi, motil),
4.2.5.2 zooplanlankton
Zooplankton yang di kultur dalam praktikum planktonologi adalah spesies Artemia sp. Spesies ini bergerak aktif, menyerupai udang mikroskopic, dan kaki bersegm
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Planktonologi adalah sebaga berikut:
1. Teknik yang digunakan untuk mengambil sampel plankton adalah secara pasif, yakni dengan menyaring sampel air ke dalam plankton net dan juga mencatat parameter fisikanya.
2. Mengidentifikasi sampel plankton dapat dilakukan dengan cara mencari di buku identifikasi plankton.
3. Penetasan Artemia adalah dengan cara menempatkan kista pada air dengan suatu salinitas yang tinggi, selain itu diperlukan juga suhu yang tinggi sekitar 28 C, waktu penetasannyapun selama kurang lebih 24 jam.
4. Bentuk awal perkembangan instar dan nauplius Artemia adalah bulat telur berwarna coklat pekat, setelah menetas menjadi larva atau nauplius berwarna coklat transparan dan bergerak-gerak secara aktif. Dalam waktu beberapa hari, akan menjadi artemia remaja yang kemudian akan menjadi Artemia dewasa yang akan melakukan perkembangbiakan kembali.
5. Kaitan distribusi plankton dengan faktor-faktor lingkungan adalah bahwa plankton adalah primary producer sehingga berperan sentral dalam siklus kehidupan.
6. Setelah didapatkan hasil pada praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa pada pemancingan ini keadaan airnya masih baik, dan memiliki potensi yang baik, karena memiliki tingkat kesuburan yang baik.
5.2 Saran
Adapun Saran buat praktkum palnktonologi adalah
1. Untuk seluruh mahasiswa dan asisten hendaknya sebelum melakukan praktikum dan debat pada forum diskusi banyak-banyak membaca referensi buku yang bersangkutan.
2. Praktikan agar lebih mengoptimalkan waktu yang diberikan agar mendapat hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, S. 1983. Distribusi dan Kelimpahan Plankton. Universitas Diponegoro: Semarang.
Harefa, Fa’ahakhododo. 1997. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. Penebar Swadaya:Jakarta.
Hutabarat, S dan Evans. 1985. Kunci Identifikasi Zooplankton Daerah Tropik. UI Press:Jakarta.
Hutabarat, S. 2000. Produktivitas Perairan dan Plankton. Badan Penerbit Universitas Diponegoro:Semarang.
Martin, J. H., Fitzwater, S. E. 1988. Iron-Deficiency Limits Phytoplankton Growth In The Northeast Pasific Subarctic. Nature 331: 341-343
Nybakken. 1985. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Gramedia:Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. WB Saunders Company:Phyladelphia.
Omori, M., Ikeda, T. 1992. Methods In Marine Zooplankton Ecology.
Krieger Publishing Company: Malabar, USA.
Richtel, M. (May 1, 2007). Recruiting Plankton To Fight Global Warming:
New York Times
Romimohtarto, Kasijan. 2004. Meroplankton Laut. Djambatan: Jakarta
Sachlan. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro: Semarang.
Soedarsono, P dan Suminto. 1989. Petunjuk Identifikasi Plankton di Perairan Jepara. Universitas Diponegoro:Semarang.
Sulardiono, B. 1988. Petunjuk Praktikum Planktonologi. Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro:Semarang.
Langganan:
Postingan (Atom)