Selasa, 01 Juni 2010

Laporan Manajemen Aquakultur Payau

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumber daya pesisir dan lautan merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi. Dengan berbagai kekayaan keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumber daya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta mampu memberika manfaat yang sebesar-besarnya kepada semua stakeholder terutama masyarakat pesisir, dam meniminimalkan dampak serta konflik yang berpotensi terjadi.
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga adalah warga negara Indonesia.
Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir. Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat, umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa waktu perlu waktu bertahun-tahun agar masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya. Kegiatan budidaya laut dan payau berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Meskipun demikian pengembangan budidaya laut dan payau hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Penguasaan manajemen budidaya air payau merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai keberhasilan produksi dengan mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara berkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastuktur, manajemen dumberdaya manusia, manajemen produksi budidaya dan manajemen pemasaran.
Klasifikasi budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton, budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup. Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan yang dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.



1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) adalah sebagai berikut :
a. Mahasiswa dapat lebih memahami manajemen perikanan budidaya air payau.
b. Mahasiswa nantinya dapat memahami dan mengaplikasikan teknologi budidaya air payau terkini.
c. Mahasiswa nantinya dapat menerapkan sistem manajemen yang baik tentang pembudidayaan perikanan air payau kepada masyarakat.

1.3. Waktu dan Tempat
Praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) dilaksanakan pada :
Tempat : Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara,
yang terletak di kawasan Pantai Kartini Jepara.
Tanggal : 19 Desember 2008
Pukul : 09.00 – 11.00 WIB








II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemilihan Lokasi Budidaya Air Payau
Memilih lokasi untuk usaha pertambakan tergantung pada faktor kondisi sosiologis. Di daerah potensial yang sudah banyak digunakan untuk usaha pertambakan tentu sulit mencari lahan kosong untuk dibuat tambak baru. Di daerah seperti ini, alternatif yang dapat diambil adalah menyewa atau membeli tambak. Di daerah yang belum banyak digunakan untuk pertambakan, cukup banyak lahan yang bisa dimanfaatkan. Namun untuk membangun suatu lokasi menjadi daerah pertambakan, minimal harus dilalui tiga jalur permohonan izin terpadu, yaitu izin dari Dinas Perikanan, Agraria dan Pemerintah Daerah. Bila tambak yang hendak diusahakan lebih dari 1 Ha, diperlukan tambahan permohonan sampai tingkat Gubernur (Murtidjo, 1991).
Pada umumnya di Jawa tidak mungkin lagi dapat ditemukan lahan kososng untuk diusahakan sebagai pertambakan baru, sebaliknya di luar Jawa lokasi untuk ekstensifikasi pertambakan masih tersedia. Di Daerah Istimewa Aceh, status pemilikan areal tambak memang masih semrawut. Di daerah ini pemilikan tambak cenderung berkaitan dengan tradisi hukum adat. Hampir setiap tanah kosong di dekat tambak yang sudah diusahakan sesorang dijadikan miliknya, sehingga tidak mengherankan jika ada orang-orang yang bisa memiliki tambak seluas 33 Ha, mesti status hukumnya hanya Hak Guna Tanah. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, umumnya status pemilikan tambak sudah cukup teratur. Tambak-tambak yang diusahakan di daerah ini sudah berdasarkan Surat Petok dan Surat Keputusan Penggunaan Tanah, sehingga dalam pengelolaan, sangat mungkin dilakukan kerja sama dengan pemilik modal demi mengatasi kesulitan untuk mengusahakan tambak semi intensif dan tambak intensif. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, umumnya lokasi tambak yang diusahakan berstatus tanah milik. Hanya sebagian kecil lokasi tambak yang masih diusahakan berdasarkan Surat Keputusan Penggunaan Tanah. Jual beli tambak di daerah ini seperti jual beli sawah, karena sebagian besar tambak memasuki daerah pedalaman. Di daerah ini sulit sekali mencari lahan luas sekaligus dalam satu wilayah. Jarang ada tambak milik perorangan yang dijual, meski dalam keadaan terjepit sekali pun (Murtidjo, 1991).
Menurut Ranoemihardjo (1984), sebelum membeli atau menyewa tambak, perlu diperhitungkan klasifikasi tambak, yakni :
1. Tambak bersalinitas tinggi adalah tambak yang umumnya berada dekat pantai. Kadar keasinan air tambak ini tinggi, dan sulit diatur, kecuali dengan menggunakan alat-alat tertentu. Pengeringan juga sulit dilakukan. Dengan demikian tambak seperti ini hanya mungkin diusahakan sebagai tambak berpola tunggal intensif. Jika digunakan sebagai tambak udang intensif, diperlukan biaya besar untuk membeli makanan dan peralatan.
2. Tambak bersalinitas menengah adalah tambak yang terlalu dekat dengan laut atau pantai, melainkan dekat dengan sungai. Tambak demikian bisa diatur dengan mudah. Tambak semacam ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena sangat memungkinkan untuk dibuat tambak berpola tunggal atau ganda, dengan sistem semi intensif maupun intensif. Tambak mudah dikeringkan untuk dipupuk, sehingga pertumbuhan klekap (ganggang biru) sebagai makanan alami ikan bandeng dan udang dapat memenuhi kebutuhan dan mengurangi penggunaan makanan tambahan.
3. Tambak bersalinitas rendah adalah tambak yang terletak sangat jauh dari laut atau pantai, tetapi dekat dengan sungai. Dengan kecenderungan umum salinitas air sangat rendah, tambak jenis ini cocok untuk memelihara ikan bandeng.
Menurut Murtidjo (1991), seberapa tinggi potensi kepayauan air tambak juga merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diketahui dalam pemilihan lokasi tambak. Pada tambak yang bersalinitas tinggi, kadar keasinannya sekitar 26 – 35 ‰, tambak bersalinitas menengah berkadar berkadar keasinan sekitar 11 – 25 ‰, sedangkan tambak bersalinitas rendah berkadar keasinan sekitar 3 – 10 ‰. Pengukuran bisa dilakukan dengan alat yang disebut salinometer. Pengamatan menggunakan sampel air tanbak di beberapa tempat secara acak. Selanjutnya sampel-sampel tersebut dikocok-kocok merata. Bila terlalu kotor air bisa disaring dan diambil sebanyak 2 – 3 liter, ditempatkan dalam toples atau tabung kaca. Selanjutnya salinometer diapungkan pada ruangan yang memiliki suhu 27,5 °C.
Derajat keasaman air tambak pun tidak dapat diabaikan begitu saja dalam pemilihan lokasi tambak, terutama untuk usaha tambak semi intensif yang menggunakan pemupukan. Pengukuran pH air tambak bisa dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut ‘pH meter’ atau ‘pH comparator’, bahakan di Indonesia sudah beredar alat pengukuran keasaman air sistem digital, sehingga lebih praktis dan hasilnya dapat dibaca pada angka yang tampak pada alat tersebut (Ranoemihardjo, 1984).
Derajat keasaman perlu diketahui dengan pasti agar dapat diperoleh data mengenai potensi air tambak, apakah air tambak mengandung cukup mineral atau tidak. Air yang agak alkalis dapat mempercepat penguraian bahan organik menjadi garam mineral, misalnya : nitrat, amonia dan fosfat. Dengan demikian akan mudah diserap sebagai makanan oleh tumbuh-tumbuhan renik. Zat-zat mineral yang cukup akan menyuburkan klekap (ganggang biru) yang merupakan makanan alami ikan dan udang. Namun sebaliknya, air tambak dengan pH lebih rendah atau lebih tinggi dari batas normal jelas kurang baik bagi kesuburan klekap. Bila dipaksakan untuk memelihara ikan dan udang, angka kematian akan tinggi (Murtidjo, 1991).

2.2. Kualitas Lahan
Tanah pada dasar tambak yang potensial adalah tanah liat yang bercampur tanah endapan dan sedikit pasir. Tanah seperti ini pada umumnya terbentuk dari air sungai yang bermata air di gunung yang membawa tanah lahar mengandung lahar. Tanah dasar yang hanya terdiri dari tanah liat atau pasir kurang baik. Terlalu banyak tanah liat akan mengakibatkan tanah mempunyai sifat keras bila kering dan menjadi becek, lengket dan lembek jika basah. Kemampuan menahan air pun terlalu kecil, namun bila terlalu banyak mengandung pasir, tanah tambak akan mudah longsor. Bila terpaksa, tanah liat berpasir masih bisa dimanfaatkan untuk usaha tambak, namun dalam pengelolaan harus sering dikontrol dan jika terjadi kerusakan harus secepatnya diperbaiki (Murtidjo, 1991).
Lahan yang ideal atau alami dapat digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi tanah yang dievaluasi dengan asumsi bahwa lahan/tanah yang dipakai acuan mengandung sifat-sifat ideal. Sifat-sifat tanah sebagai acuan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi. Lahan/tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produksi kandungan oksigen yang terlarut juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara di dalam kandungan lahan/tanah lokasi tambak tersebut (Soepardi, 1983).
Menurut Soepardi (1983), tekstur dan struktur lahan/tanah mempengaruhi jumlah air dan udara di dalam lahan lokasi pertambakan tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan. Ukuran partikel tanah sangat penting karena :
a) Ukuran partikel tanah makin kecil (liat) maka partikel-partikel tanah tersebut akan berikatan lebih kuat dibandingkan dengan yang berukuran besar (pasir). Hal ini berarti tanah akan didominasi pori-pori berukuran kecil. Demikian juga air dan udara di dalam tanah berada di dalam pori-pori kecil tersebut.
b) Partikel lebih kecil mempunyai luas permukaan lebih luas/besar dibandingkan dengan yang besar dalam satuan berat yang sama. Dalam berat yang sama liat dapat mengembang mempunyai sekitar 10 ribu kali luas permukaan partikel debu dan 100 ribu kali dibandingkan dengan pasir. Jika luas permukaan tanah meningkat berarti jumlah air dan kation/unsur hara yang teradsorpsi (diikat) akan meningkat pula.
Proses dan reaksi bahan kapur di dalam tanah, sehingga menurunkan kemasaman tanah adalah sangat komplek. Walaupun demikian pengaruh tersebut dapat diterangkan dengan sangat sederhana, seperti telah disebutkan bahwa pH tanah diekspresikan sebagai aktifitas H+. Sumber utama H+ dalam sebagian besar tanah yang mempunyai pH di bawah 5,5 adalah reaksi Al dengan air
(Winarso, 2005).
Lahan pertambakan yang dipakai umtuk lokasi, tanah yang dipakai tidak hanya dipandang sebagai produk transformasi mineral dan bahan organik dan sebagai media produktivitas ikan yang tinggi, akan tetapi juga dipandang lebih menyeluruh yaitu mencakup fungsi-fungsi lingkungan. Sehingga penilaian tanah saat ini, dikatakan tang yang berkualitas tidak saja tanah tersebut subur dan produktif akan tetapi harus mencakup aspek lingkungan dan kesehatan. Tanah-tanah yang sehat atau berkualitas akan menunjukkan rendahnya bahkan tidak adanya polusi tanah, tidak mengalami degradasi, dan akan memberikan keuntungan bagi petani tambak secara berkelanjutan (Winarso, 2005).
Menurut Bezdicek et al. (1996), menyatakan bahwa kualitas lahan/tanah dapat dipandang dengan dua cara yang berbeda yaitu :
1. Sebagai sifat/atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi idak langsung (seperti kepekaan terhadap erosi atau pemadatan).
2. Sebagai kemampuan tanah untuk menampakan fungsi-fungsi produktivitas, lingkungan, dan kesehatan.
Hingga saat ini terus dikembangkan pendekatan-pendekatan untuk penilaian kualitas lahan/tanah, sehingga dapat diterima oleh sebagian besar pengguna. Akan tetapi pada umumnya penilaian kualitas tanah dapat dikelompokan menjadi dua : 1) menilai kualitas tanah berdasarkan perubahan, kecenderungan, dan perkembangan parameter-parameter tanah oleh penggunaannya dan 2) membandingkan parameter-parameter tanah dengan tanah-tanah yang sudah dikatakan ideal atau berkualitas, sehingga sifat-sifat tanah dapat dipakai sebagai acuan untuk dipergunakan mengevaluasi sifat-sifat tanah yang dievaluasi atau yang dinilai. Dalam pengertian ini tanah yang mempunyai kualitas tinggi selain dapat meningkatkan produktivitas juga dapat mengefisienkan fungsi unsur hara yang terkandung dalam lahan yang dipergunakan lokasi pertambakan tersebut atau yang telah diserap (Winarso, 2005).

2.3. Kualitas Air
Air merupakan sumber daya alam yang siperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air (Effendi, 2003).
Menurut Dugan (1972); Hutchinson (1975); Miller (1992), air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0°C (32°F) – 100°C, air berwujud cair. Suhu 0°C merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100°C merupakan titik didih (boiling point) air. Tanpa sifat tersebut, air yang terdapat di dalam jaringan tubuh makhluk hidup maupun air yang terdapat di laut, sungai, danau, dan badan air yang lain akan berada dalam bentuk gas atau padatan, sehingga tidak akan terdapat di muka bumi ini, karena sekitar 60% - 90% bagian sel makhluk hidup adalah air (Pecl, 1990).
2. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas ataupun dingin seketika. Perubahan suhu air yang lambat mencegah terjadinya stress pada makhluk hidup karena adanya perubahan suhu yang mendadak dan memelihara suhu bumi agar sesuai bagi makhluk hidup.
3. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Sebaliknya, proses penguapan uap air menjadi cairan (kondensasi) melepaskan energi panas yang besar. Sifat ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya penyebaran panas secara baik di bumi.
4. Air merupakan pelarut yang baik. Air mampu melarutkan berbagai jenis senyawa kimia. Air hujan mengandung senyawa kimia dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan air laut dapat mengandung senyawa kimia hingga 35.000 mg/liter (Tebbut, 1992). Sifat ini memungkinkan unsur hara (nutrien) terlarut diangkut ke seluruh jaringan tubuh makhluk hidup dan memungkinkan bahan-bahan toksik yang masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup dilarutkan untuk dikeluarkan kembali. Sifat ini juga memungkinkan air digunakan sebagai pencuci yang baik dan pengencer bahan pencemar (polutan) yang masuk ke badan air.
5. Air memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Suatu cairan dikatakan memiliki tegangan permukaan yang tinggi jika tekanan antar-molekul cairan tersebut tinggi. Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan air memiliki sifat membasahi suatu bahan secara baik (higher wetiing ability). Tegangan permukaan yang tinggi juga memungkinkan terjadinya sistem kapiler, yaitu kemampuan untuk bergerak dalam pipa kapiler. Adanya tegangan permukaan memungkinkan beberapa organisme, misalnya jenis-jenis insekta, dapat merayap di permukaan air.
6. Air merupakan satu-satunya senyawa yang merenggang ketika membeku. Pada saat membeku, air membeku sehingga es memiliki nilai densitas (massa/volume) yang lebih rendah daripada air. Dengan demikian, es akan mengapung di air. Sifat ini mengakibatkan danau-danau di daerah yang berilklim dingin hanya membeku pada bagian permukaan sehingga kehidupan organisme akuatik tetap berlangsung. Densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm3 terjadinya pada suhu 3,95°C. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95°C, densitas air lebih kecil dari satu
(Moss, 1993; Tebbut, 1992).
Dalam tatalaksana pemeliharaan, baik di petak peneneran, buyaran, maupun pembesaran, penggantian air sangat diperlukan untuk menjaga kualitas air tambak tetap baik dan untuk menghindarkan pencemaran air. Salinitas air senantiasa harus dijaga dengan baik, terutama sesudah hujan. Harus diusahakan agar air hujan yang masuk ke dalam tambak tidak mengganggu salinitas air tambak (Murtidjo, 1991).
Penggantian air tambak setiap hari sangat diperlukan agar sisa-sisa makanan buatan terbuang. Sisa makanan akan mengalami proses pembusukan, dalam proses seperti itu tentu membutuhkan banyak oksigen yang sebenarnya sangat diperlukan udang dan bandeng khususnya. Penggantian air dengan bantuan pompa air lebih mudah, karena bisa dilakukan bisa setiap waktu. Dalam pengisian kembali akan lebih baik bila air segar disaring lebih dahulu untuk menghindari kemungkinan masuknya benih ikan buas atau liar, baik predator maupun kompetitor. Untuk lebih gampangnya kita mengambil contoh tambak udang, pemberian kapur 5 – 10 kg/ha setiap minggu, khususnya pada pemeliharaan buyaran dan pembesaran. Kapur merupakan kebutuhan pokok udang, terutama untuk pembentukan kulit dan penggantian cangkang. Kapur juga berfungsi mengikat zat asam arang yang ada di dasar tambak dan menyerap serta menetralkan gas racun seperti amonia (Murtidjo, 1991).
Lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal kolom air berdasarkan intensitas cahaya (eufotik, kompensasi, dan profundal/afotik) kadang-kadang berada pada posisi yang sama dengan lapisan-lapisan yang terbentuk pada stratifikasi vertikal berdasarkan perbedaan panas (epilimnion, metalimnion/termoklin, dan hipolimnion). Lapisan eufotik yang biasanya juga merupakan lapisan epilimnion merupakan lapisan yang paling produktif. Lapisan ini mendapat pasokan cahaya matahari yang cukup sehingga proses fotosintesis berlangsung secara optimum. Keberadaan oksigen, baik yang dihasilkan oleh proses fotosintesis maupun difusi dari udara juga mencukupi. Lapisan tanah yang bersifat porous (mampu menahan air) dan permeable (mampu melalukan atau memindahkan air) disebut akifer. Akifer terbagi menjadi dua, yaitu akifer dangkal dan akifer dalam (Effendi, 2003).

2.4. Tipe Teknologi Budidaya Air Payau
Sistem budidaya yang dikenal sekarang ada 3 tingkatan yaitu : budidaya extensive, semi-intensive dan intensive. Sistem budidaya extensive merupakan sistem tradisional yang tambaknya memiliki bentuk dan ukuran tang tidak teratur. Luasnya antara 3 Ha sampai 10 Ha per petak. Biasanya setiap petakan mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5 – 10 m di sepanjang keliling pertakan sebelah dalam. Dibagian tengah juga dibuat caren dari sudut ke sudut (diagonal). Kedalaman caren itu 30 - 50 cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran. Bagian pelataran hanya dapat berisi air sedalam 30 – 40 cm saja. Pada tempat ini akan tumbuh klekap sebagai pakan alami bagi ikan bandeng dan udang. Sistem budidaya semi-intensif adalah metode atau sistem budidaya yang merupakan peningkatan atau perbaikan dari sistem extensive yaitu dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaan airnya, pengelolaan petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 – 3 Ha per petakan. Sistem intensif adalah sistem budidaya yang dilakukan dengan teknik yang canggih dan memerlukan masukan (input) biaya yang besar. Sebagai imbalan dari masukan yang tinggi, maka dapat dicapai volume produksi yang sangat tinggi pula. Petakan umumnya kecil-kecil, 0,2 – 0,5 Ha per petak. Maksudnya supaya pengelolaan air dan pengawasannya lebih mudah. Kolam atau petak pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari tanah seperti biasa. Atau dindingnya saja dari tembok sedangkan dasarnya dari tanah. Ciri khas dari teknik budidaya intensif ini adalah padat penebaran benur sangat tinggi yaitu 50.000 – 60.000 ekor per Ha (diberi aerasi dengan kincir atau alat lain). Untuk menambah kadar oksigen dalam air. Pergantian air sangat sering agar air tetap bersih dan tidak menjadi kotor oleh sisa-sisa makanan dan kotoran (ekskresi). Keterampilan pelaksana (operator) sangat diperlukan untuk dapat memonitor kualitas air dan dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuatu kelainan dalam air terjadi (Suyanto, 1989).

2.5. Kultivan Budidaya Air Payau
Ikan laut yang memiliki potensi untuk dipelihara dalam tambak adalah ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan ini memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang, serta lincah di dalam air, memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Bila dipelihara dalam tambak ikan bandeng sangat potensial dan cepat pertumbuhannya. Lebih baik lagi bila di pelihara bersama udang karena kelincahannya dapat berfungsi sebagai aerator. Namun demikian, ikan bandeng tidak dapat berkembangbiak di dalam tambak, ikan ini dapat hidup di air dengan kadar keasinan tinggi maupun rendah, bahkan bias dipelihara di dalam air tawar (Murtidjo, 1989).
Kepiting Bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu hasil dari perikanan yang dapt dibudidayakan dalam tambak. Kepiting sering lari dari tambak untuk memijah ke tengah laut karena sifatnya beruaya ke laut. Ini merupakan suatu siklus hidup yang harus dijalani oleh kepiting untuk meneruskan generasinya. Keinginan terebut tentu akan terhalang bila mereka dipelihara dalam tambak yang dipagari, kecuali untuk induk kepiting yang sudah berukuran besar dan telah memijah beberapa kali. Bagi kepiting muda yang baru akan memjiah tentu masalah ruaya ini akan berkaitan pula dengan proses sebelumnya, yaitu masa kencan, berganti kulit, dan melakukan kopulasi (Kasri, 1992).
Budidaya kakap dalam tambak atau dalam karamba merupakan satu alternative menghindari terjadinya penangkapan ikan yang berlebih di waktu lokasi yang padat dan di andalkan sebagai wilayah penangkapan ikan. Ikan kakap pada mulanya dikenal sebagai ikan hasil penangkapan laut, tetapi dewasa ini berkait kemajuan teknologi perikanan, ikan kakap sudah dapat dipijahkan di bak buatan, ikan kakap sudah dibudidayakan secara komersial di beberapa Negara seperti Australia, Singapura, Thailand, dan Hongkong (Kasri, 1992).

2.6. Manajemen Budidaya Air Payau
Kondisi manajemen usaha pembenihan di Indonesia selama ini belum memiliki prototip yang jelas. Usaha ini terlihat masih mencoba-coba, sehingga umumnya belum mampu memproduksi benur secara optimal. Berbeda dengan Indonesia, Taiwan berhasil melaksanakan manajemen pembenihan dengan baik, meski mengalami kesulitan memperoleh induk udang. Hampir setiap usaha pembenihan udang disini mampu memproduksi secara optimal. Keberhasilan itu di raih karena ditunjang sistem pembagian kerja dengan memanfaatkan secara optimal manajemen produksi modern. Oleh karena itu di Taiwan dikenal 3 klasifikasi usaha pembenihan, yaitu: usaha pembenihan dengan produksi khusus Nauplius, usaha pembenihan dengan dengan pro post larva 11-13, 20-23
(Murtidjo, 1989).
Lokasi calon tambak yang dekat dengan daerah pemasaran sudah tentu lebih bernilai untuk dipilih, daripada yang jauh. Dari tambak yang terletak strategis di persimpangan jalan, atau mudah dicapai oleh para pedagang, juga lebih bernilai daripada yang terpencil, sekalipun dekat dengan laut dan harganya murah sekali. Yang paling ideal adalah daerah pertambakan umum dari desa yang mempunyai depot es, gudang garam, tempat pengalengan dan fasilitas pengepakan ikan untuk pengiriman jarak jauh. Kunci keberhasilan tambak terletak pada profesi analisis manajer dan staf produksi dalam mengoptimalkan factor-faktor produksi sehingga dapat meningkatkan hasil panen dan memberikan produk yang berkualitas baik dengan harga tinggi. Pengelolaan tambak yang meliputi pengelolaan kualitas air, pengaturan sirkulasi air, persiapan pengolahan tanah dasar dan penebaran benih serta pengendalian hama, pengelolaan pakan buatan, pengaturan jadwal kerja merupakan pekerjaan rutin yang terus-menerus menyita perhatian dan pikiran, sehingga perlu diadakan koordinasi kerja yang sesuai dengan pola budidaya dan pola tanam yang diterapkan (Buwono, 1993).

2.7. Pemasaran Budidaya Air Payau
Setelah pemanenan dan penangkapan udang dan ikan selesai,tahap selanjutnya adalah penangan hasil panen. Kualitas dan kesegaran udang dan ikan harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang dan ikan sampai pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan teksis yaitu penanganan secara fisis mekanis yang berkaitan dengan proses yang lebih lanjut komoditas hasil tambak. Produk perikanan dalam hal ini termasuk pula hasil tambak merupakan bahan makanan yang mudah rusak bila terlalu lama disimpan, kualitasnya akan menurun diikuti dengan perubahan penampilan luar dan rasa. Terjadinya proses pembusukan pada produk perikanan dapat diatasi dengan teknologi pengawetan seperti penggunaan es, penggaraman, pengasapan dan pengeringan (Murtidjo, 1989).
Para pengusaha tambak di daerah Sidoarjo biasanya hanya memungut hasil dari satu petakan saja, dari sebuah unit tambak tipe porong atau taman, sehingga pengurusannya pun dapat seksama, sampai tak ada seekor ikan pun (ibaratnya yang rusak dan hilang). Hasil pencernaan yang sedikit-sedikit ini memang merupakan siasat untuk mempertahankan harga ikan bandeng agar senantiasa tinggi. Sebab, segera para tengkulak menghadapi hasil panenan yang melimpah, segera pula mereka menekan harga. Kebanyakan karena modal kulakan mereka sangat terbatas (dan tidak mau berusahah memperbaikinya dengan meminjam modal ke bank pusat, melainkan justru memakai keadaan itu sebagai alasan untuk menekan harga), sehingga tidak mungkin membali bandeng dalam partai yang lebih besar daripada biasanya itu, dengan demikian maka dimana-mana dapat dilihat, hasil dibagi sesuai dengan besarnya permintaan pasaran saja. Ini berarti sedikit pada hari (bulan biasa), dan meningkat pada hari raya dan musim paceklik ikan laut. Rencanan pemanenan kemudian disesuaikan dengan naik turunnya harga, sehubungan dengan naik turunnya permintaan masyarakat (Soeseno, 1983).









III. HASIL

3.1. Lokasi Budidaya
Kegiatan budidaya air payau di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, berlokasi dekat dengan laut. Tambak yang dikembangkan di daerah tersebut terletak ± 25 meter dari laut dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan lokasi tambak ini di dasarkan pada pertimbangan antara lain dekat dengan muara sungai dan laut (tersedia air yang cukup pada kondisi pasang surut minimal), kondisi lahan untuk kegiatan budidaya, jaringan pendukung yang menunjang kegiatan seperti transportasi (aksesibilitas terhadap kendaraan roda 4 atau jauh dekatnya dengan jalan raya).

3.2. Kualitas Lahan dan Air
Persyaratan lahan (tanah) memegang peranan penting dalam menentukan baik atau tidaknya tanah untuk usaha pertambakan. Tanah yang baik tidak hanya mampu menahan air tetapi harus mampu menyediakan berbagai unsur hara. Tekstur tanah tambak untuk pembesaran di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah pasir bertanah dengan warna tanah kecoklatan. Tanah dengan kandungan pasir yang besar kurang bagus untuk tambak sebab tanah menjadi porous dan miskin unsur hara. Tanah porous ini sulit untuk menahan air sehingga ada beberapa tambak yang dilapisi dengan plastik.
Air merupakan media hidup bagi kultivan yang dibudidayakan. Oleh karena itu air yang akan digunakan harus disiapkan agar memenuhi standar kebutuhan tersebut. Tambak ini menggunakan tandon sebagai penampung air sekaligus untuk pengendapan dan biofilter sebelum air digunakan untuk pemelliharaan. Air yang digunakan hanya berasal dari air laut dengan metode closed system (resirkulasi air tertutup). Salinitas tambak berkisar antara 20 ‰ – 35 ‰. Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran harus di pertahankan tidak lebih dari 3 ‰ untuk menghindari stres. Fungsi tandon ini sangat penting karena digunakan untuk menekan fluktuasi salinitas yang tinggi.
Suhu air dan pH pada tambak pembesaran harus seimbang (stabil). Jika terjadi penurunan kualitas air maka segera dilakukan treatment dengan mengatur sirkulasi air dan membuang limbah yang berlebihan. Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan parameter kualitas air tambak. Secara visual dapat dilihat dari perubahan warna air dengan ditandai banyaknya buih yang relatif besar pada kincir.

3.3. Aplikasi Teknologi Pembudidayaan
Berdasarkan tipe teknologi yang digunakan, pada kegiatan tambak di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara dikembangkan secara intensif. Penggunaan kincir air dan blower untuk mengontrol dan menambah suplai oksigen. Petakan tambak sudah teratur, menggunakan pipa paralon sebagai saluran pembuangan dan saluran pemasukan menggunakan pompa langsung sehinggga air dapat dikeringkan sewaktu-waktu. Selain itu juga digunakannya tandon yang berfungsi dalam sistem resirkulasi air.
Sistem resirkulasi air merupakan cara pemanfaatan air buangan dari petak pemeliharaan untuk dimasukkan kembali ke petak tersebut dengan mengolahnya di petak tandon sehingga memenuhi persyaratan air bagi kegiatan budidaya. Sistem resirkulasi ini terdiri dari beberapa petak perlakuan, antara lain petak pengendapan, penyaringan (biofilterasi), penyuburan, dan petak oksigenasi. Penerapkan sistem biofilterasi menggunakan ikan-ikan predator, ikan herbivor dan karnivor, kekerangan dan rumput laut.

3.4. Kultivan yang Dibudidayakan
Tambak yang dikembangkan di tempat ini sesuai dengan prinsip pelestarian lingkungan. Metode budidaya di tambak ini dikembangkan dengan sistem polikultur. Kultivan yang dipelihara antara lain udang windu, ikan kerapu, bandeng, kerang hijau dan rumput laut (E. cotoni). Semua kultivan tersebut dipelihara dan dimanfaatkan untuk proses pelestarian lingkungan menggunakan sistem biofilterasi dalam resirkulasi air.

3.5. Manajemen Operasional Budidaya
Kegiatan operasional pada budidaya tambak tersebut terdiri dari persiapan pengolahan tanah dasar, penebaran benih ke tambak pemeliharaan, pengelolaan dan pemberian pakan, pengawasan dan pengaturan terhadap kualitas air dan hama penyakit, dan pemanenan. Pemberian pakan untuk tambak sistem polikultur dilakukan 2 kali sehari. Pakan ini berupa pakan rucah dan pakan buatan. Untuk kontrol terhadap kualitas air dilakukan 2 kali selama satu minggu.
Pengaturan dan pengelolaan kualitas air dilakukan dengan kontrol terhadap limbah hasil budidaya. Limbah ini dikelola kembali untuk digunakan sebagai media pemeliharaan. Metode pengelolaan ini dengan cara memasukkan air buangan limbah ke dalam petak pengendapan. Saluran air dilengkapi dengan sekat berselang-seling untuk memperpanjang dan memperlambat aliran air agar lumpur dan kotoran mengendap. Selanjutnya masuk ke petak penyaringan (biofilter) agar bahan organik dan racun terlarut. Petak ini berisi ikan karnivora dan herbivora. Ikan karnivora berperan untuk mengurangi resiko masuknya hama penular yang terinfeksi virus, seperti udang-udang liar. Ikan hervibora dapat mengendalikan kepadatan plankton atau tanaman air lainnya. Petak biofilter juga berisi tanaman atau tumbuhan air (rumput laut) yang berfungsi untuk menyerap nutrien hasil perombakan bahan organik. Rumput laut yang digunakan berasal dari jenis E. Cotoni. Air hasil dari penyaringan ini dapat langsung digunakan untuk pemeliharaan kembali.

3.6. Manajemen Organisasi Kegiatan Budidaya
Untuk budidaya tambak berpola intensif, salah satu faktor penting untuk kelancaran kegiatan operasional ditentukan oleh struktur organisasinya. Kejelian dari pemimpin dibutuhkan untuk menempatkan orang-orang yang langsung dapat mengadaptasikan diri dengan jenis kegiatan operasional tambak. Penyusunan bentuk struktur organisasi perlu memperhatikan keahlian khusus tiap orang untuk dapat langsung ditempatkan pada bagian yang sesuai dengan pekerjaan baik teknis maupun non teknis. Pada kegiatan budidaya ini, setiap petakan tambak dibentuk satu tim kerja non teknis dengan beranggotakan ± 5 orang untuk bertanggungajawab terhadap kegiatan operasional tambak tersebut. Jika ada masalah dengan kegiatan operasional di lapangan, maka tim ini akan berkonsultasi dengan bagian teknisi untuk memecahkan masalah tersebut.

3.7. Manajemen Sumberdaya manusia
Untuk melaksanakan kegiatan operasional dengan baik, diperlukan adanya keterampilan dan keahlian dari manusianya (tenaga kerja). Teknisi tambak dalam organisasi adalah staf ahli (sarjana) perikanan yang terampil dan memiliki pengalaman memadai serta menguasai operasional tambak. Pengalaman kerja sangat membantu dalam mengatur, mengkoordinasi serta mengambil keputusan tentang jenis kegitan operasional secara teknis dan non teknis baik pekerjaan yang berat maupun ringan.

3.8. Pemasaran Hasil Budidaya
Hasil budidaya pada Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara didistribusikan ke distributor besar yang langsung datang ke Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) sendiri.











IV. ANALISA HASIL

4.1. Analisa Faktor Utama Pembudidayaan
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang terletak di ujung pantai kota Jepara memiliki lokasi yang strategis untuk digunakan sebagai lokasi pembudidayaan. Hal ini antara lain didukung oleh perairan laut Jepara yang tidak digunakan sebagai jalur lalu lintas kapal. Sehingga tingkat pencemaran rendah karena tidak adanya sisa pembakaran bahan bakar kapal. Sumber air yang digunakan bisa dibilang layak untuk lokasi pembudidayaan karena tidak tercemar bahan kimia.
Teknologi yang digunakan merupakan teknologi pembudidayaan secara intensif. Teknologi ini menggunakan kincir air untuk menjaga suplai oksigen dalam tambak. Konstruksi pada tambak menggunakan beton sebagai dindingnya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kerusakan pada tambak oleh hama seperti kepiting. Selain itu, hal ini dimaksudkan karena substrat dasar tambak adalah berpasir.
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) membudidayakan kultivan yang bernilai ekonomis penting dan memiliki pasaran luas. Kultivan yang dibudidayakan adalah kultivan yang memiliki habitat air payau dan air laut, antara lain udang, rajungan, kerapu, abalone, rumput laut, kakap, dan pakan alami. Kultivan-kultivan ini selain untuk kegiatan penjualan, juga dimaksudkan untuk kegiatan penelitian bagi kemajuan dunia perikanan.


4.2. Analisa Aspek Manajemen
Aspek manajemen operasional budidaya di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara telah tertata dengan teratur. Hal ini dapat dilihat dengan adanya diversivikasi antara kegiatan produksi maupun kegiatan penelitian. Pada kegiatan produksi, sistem operasionalnya juga diatur sedemikian rupa mulai dari pemijahan, pembenihan, dan pembesaran. Hal ini dapat dilihat dengan pemisahan lokasi-lokasi yang digunakan untuk kegiatan tersebut berjarakterpisah. Jam kerja yang telah diatur sedemikian rupa memungkinkan para karyawan untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Pembagian kerja yang diterapkan juga memungkinkan diperolehnya hasil kerja yang optimal. Bagian administrasi hanya mengurusi tugasnya dalam hal administratif saja. Sedangkan bagian lapangan diserahkan pada karyawan yang bertugas di lapangan. Pembagian terdiri dari kepala bagian yang dibantu oleh para pekerja. Selain itu, juga terdapat pagawai laboratorium yang bertugas menganalisa hal-hal yang bersifat laboratoris.
Sumberdaya manusia yang dimiliki Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sangat beragam. Mayoritas diisi oleh para lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sehingga mampu menghasilkan kualitas kerja yang baik. Selain itu, inovasi maupun terobosan baru dari para karyawan sangat diharapkan untuk kemajuan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Dari segi pekerja lapangan, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) memiliki banyak pekerja yang memiliki banyak pengalaman di dunia perikanan karena telah menekuni dunia perikanan cukup lama.
4.3. Forecasting
Kedepannya, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara hendaknya lebih memperhatikan pengolahan tambak pasca panen untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak. Hal ini juga diharapkan untuk meningkatkan produksi budidaya mengingat sistem yang digunakan adalah sistem budidaya intensif. Sistem budidaya intensif merupakan sistem yang menurunkan kualitas lingkungan karena terus menerus dipakai untuk memacu hasil budidaya. Sehingga apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dikhawatirkan suatu saat nanti akan mematikan kegiatan budidaya.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah keberadaan green belt berupa tanaman mangrove. Mengingat lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara yang berada di pinggir laut, maka akan sangat rawan terhadap abrasi pantai maupun serangan ombak. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, maka sangat diperlukan untuk penanaman mangrove di sekitar lokasi Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, sehingga diharapkan terjaganya ekosistem di sekitar lokasi budidaya.








V. REKOMENDASI

5.1. Faktor yang Mempengaruhi Pembudidayaan
Secara garis besar, kegiatan akuakultur dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kegiatan produksi on farm dan kegiatan produksi off farm. Kegiatan produksi on farm antara lain meliputi pembenihan dan pembesaran, sedangkan kegiatan off farm antara lain meliputi pengadaan prasarana dan saran produksi, penanganan hasil panen, distribusi hasil dan pemasaran.
Pembenihan ikan adalah kegitan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan benih dan selanjutnyabenih yang dihasilkan menjadi komponen input bagi kegiatan pembesaran. Pembesaran ikan adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan ikan ukuran konsumsi.
Dalam kegiatan budidaya, ada beberapa aspek yang diperlukan antara lain adalah : pemilihan spesies, lokasi budidaya, kontruksi, skala budidaya, pasar, dan ukuran jual. Spesies yang menjadi pilihan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah didapat, mudah dibudidayakan, dapat diproduksi dalam unit budidaya, memiliki nilai ekonomis tinggi, relatif tahan terhadap penyakit, dan disukai masyarakat. Pemilihan spesies juga dipengaruhi oleh keberadaan stock. Faktor yang kedua adalah pemilihan lokasi budidaya. Langkah awal keberhasilan usaha budidaya adalah pemilihan lokasi, kontruksi, dan penentuan skala budidaya. Oleh karena itu lokasi yang ideal untuk usaha budidaya harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut :
 Lokasi budidaya harus bebas dari polusi, baik polusi udara maupun polusi air. Polusi yang terdapat pada tambak dapat berupa limbah rumah tangga, oleh karena itu rekomendasi yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar agar tidak membuang limbah rumah tangga ke saluran air yang digunakan untuk usaha budidaya.
 Perbaikan saluran air agar dapat terjadi keseimbangan antara parameter air dengan tanah.
 Apabila terjadi penyakit pada kultivan dalam wadah budidaya maka rekomendasi yang dilakukan agar terjadi kesinambungan hidup antara yang sehat dan yang mati karena terkena penyakit dengan cara mengambil kultivan yang telah mati, dan mengobati kultivan yang sakit dengan segera.

5.2. Manajemen Pembudidayaan
Penguasaan Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai keberhasilan produksi dalam mempertimbangkan aspek kelayakan ekologis secara bwrkelanjutan. Manajemen yang dimaksud meliputi manajemen infrastruktur, manajemen sumber daya manusia, manajemen produksi budidaya, dan manajemen pemasaran.
 Manajemen infrastruktur
Manajemen infrastuktur adalah usaha yang dilakukan untuk perbaikan sarana dan prasarana budidaya. Manajemen infrastruktur terdiri dari :
a. Persiapan wadah
Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk mendapatkan lingkungan yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh maksimal. Persiapan wadah meliputi pengeringan dasar kolam, pengangkatan lumpur, perbaikan pematang dan pintu air, pengapuran, pemupukan, pengisian air, pemberantasan hama dan penyakit.
b. Penebaran benih
Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah dengan padat penebaran (stock density) tertentu. Benih berasal dari produksi pembenihan atau hasil tangkaan dari alam dengan kriteria : spesies definitif dan tidak bercampur dengan spesies lain, organ tubuh lengkap, ukuran seragam, respon terhadap gangguan, posisi tubuh di dalam air normal, menghadap dan melawan arus ketika diberi arus, berwarna cerah, dan tidak membawa penyakit.
 Manajemen sumber daya manusia
Spesialisasi dalam pengolahan tambak sangat diperlukan agar pendeteksian terhadap hal-hal yang muncul, misalnya masuknya penyakit pada tubuh ikan dapat segera teratasi, termasuk di dalamnya yang mempunyai keahlian dalam bidang pemasaran.









BAB VI. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini mempelajari tentang penentuan lokasi budidaya, kualitas dari lahan budidaya, kualitas air, kultivan yang dibudidayakan serta tipe teknologi apa yang digunakan dalam budidaya.
2. Aplikasi teknologi yang digunakan dalam budidaya air payau yang ada di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara adalah dengan memanfaatkan air laut sebagai sumber air untuk kegiatan budidaya. Penerapan sistem teknologi ini adalah dengan cara menyaring air laut yang telah ditampung di dalam bak tandon yang telah diisi pasir laut dan pecahan karang sebagai penyaring serta penambahan zat kimia untuk mensterilkan air laut. Setelah beberapa jam kemudian air tersebut baru bisa digunakan.
Saran yang dapat diambil dari praktikum mata kuliah Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) ini adalah :
1. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih tertib ketika melakukan wawancara agar informasi yang didapat lebih jelas lagi.
2. Pada waktu pelaksanaan praktikum Manajemen Budidaya Air Payau (MAP) sebaiknya mahasiswa lebih aktif dalam memberikan pertanyaan agar data serta informasi yang didapat lebih banyak sehingga dengan begitu diharapkan tujuan dari praktikum ini tercapai.

Daftar Pustaka
Bezdicek, D.F., R.I. Papendick, and R. Lal. 1996. Introduction: Importance of Soil Quality to Health and Sustainable Land Management. In: Doran, J.W. and A.J. Jones (Eds.). 1999. Methods for Assessing Soil Quality. Soil Science Society of America, Inc. Wisconsin. 1-8.

Buwono, Ibnu D. 1993. Tambak Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta.

Dugan, P.R. 1972. Biochemical Ecology of Water Pollution. Plenum Press. New York. 159 p.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Hutchinson, G.E. 1975. A Treatise on Limnology. John Wiley and Sons. New York. 942 p.

Kasri, A.1992. Budidaya Kepiting Bakau. PT. Bharata Niaga Media. Jakarta.

Miller, G.T. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company. California. 705 p.

Moss, B. 1993. Ecology of Freshwaters. Second edition. Blackwell Scientific Publications. London. 415 p.

Murtidjo, Bambang A. 1989. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.

Murtidjo, Bambang A. 1991. Tambak Air Payau. Kanisius. Yogyakarta.

Pecl, K. 1990. The Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223 p.

Rahmanto, S. dan Mudjiman, A. 1989. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya.

Ranoemihardjo, Bambang S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.

Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang Dalam Tambak. Gramedia. Jakarta.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Waters. Martinus Nijhoff/Dr.W.Junk. Publ, Dordrecht, The Netherlands. 497 p.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar